Selasa 19 Mar 2019 02:30 WIB

Konsultasi Syariah: Ganti Rugi dalam Berbisnis

Setiap transaksi harus dilakukan atas dasar kerelaan dan komitmen para pihak.

Red: Friska Yolanda
Jual beli atau kredit mobil (ilustrasi).
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Jual beli atau kredit mobil (ilustrasi).

EKBIS.CO, Diasuh Oleh: Dr Oni Sahroni, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI

 

Baca Juga

Assalamualaikum wr wb.

Ustaz, apakah boleh meminta ganti rugi ketika mitra bisnis kita melanggar perjanjian (wanprestasi), sehingga menyebabkan kerugian? Bagaimana kaidah ganti rugi menurut syariah? Mohon penjelasan Ustaz!

Utsman, Bandung

---

Waalaikumussalam wr wb.

Pertama, menurut fikih, para pihak dalam transaksi bisnis tidak diperkenankan melakukan tindakan yang merugikan mitra/pihak lain karena wanprestasi atau tidak memenuhi kewajibannya. Seperti debitur (peminjam) yang menunda-nunda pembayaran dan merugikan pihak kreditur atau seperti penjual tidak tunai (inden) yang menyerahkan barang yang dipesan tetapi tidak sesuai kriteria dan merugikan pembeli.

Tindakan ini dilarang sebagaimana hadis Rasulullah SAW: "Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain." (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Kedua, setiap transaksi harus dilakukan atas dasar kerelaan dan komitmen para pihak untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Hal itu agar tidak ada pihak yang dirugikan, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW: "Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (HR Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf).

Prinsip agar tidak ada yang dirugikan itu berlaku untuk setiap transaksi bisnis ataupun sosial. Dalam bisnis baik jual beli tunai, jual beli tidak tunai, utang piutang, bagi hasil, dan sebagainya.

Setiap pihak yang dengan sengaja menyebabkan kerugian kepada pihak lain maka berkewajiban untuk menutup dan mengganti kerugian tersebut. Dalam fikih, hal itu dikenal dengan ta'widh atau ganti rugi.

Ketiga, Fatwa DSN MUI No 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta'widh) telah menjelaskan rambu-rambu ganti rugi yaitu sebagai berikut:

(1) Pihak yang memberikan ganti rugi. Ganti rugi hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.

(2) Objek transaksi yang dibolehkan ada ganti rugi. Ganti rugi hanya boleh dikenakan pada transaksi yang menimbulkan utang piutang, seperti salam, istishna', serta murabahah dan ijarah. Dan dalam akad mudharabah dan musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.

(3) Sebesar kerugian riil. Kerugian yang dapat dikenakan ganti rugi adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas, yaitu biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan. Besar ganti rugi adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i'ah). Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak dan tidak boleh dicantumkan dalam akad.

(4) Ganti rugi menjadi pendapatan. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di lembaga keuangan syariah (LKS) dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.

Hal tersebut sebagaimana penegasan beberapa ulama kontemporer, di antaranya 'Abd al-Hamid Mahmud al-Ba'li: "Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut."

Begitu juga penegasan 'Isham Anas al-Zaftawi: "Penundaan pembayaran hak sama dengan ghashab. Karena itu, seyogianya stastus hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas manfaat benda yang di-ghashab selama masa ghashab. Menurut mayoritas ulama, di samping ia pun harus menanggung harga (nilai) barang tersebut bila rusak."

Semoga Allah SWT memudahkan setiap ikhtiar kita dan memberkahinya. Wallahu a'lam.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement