EKBIS.CO, JAKARTA – Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebutkan, defisit transaksi berjalan (Current Account Defisit/ CAD) merupakan penyakit menahun Indonesia sejak 2011 yang belum dapat diselesaikan oleh pemerintah. Hal ini berdampak pada lemahnya struktur ekonomi Indonesia, terutama dari segi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Menurut Piter, upaya yang dilakukan pemerintah selama ini hanya bersifat 'menambal' CAD, bukan mengatasinya. Pemerintah hanya mengandalkan investasi dalam bentuk portofolio yang cenderung rentan apabila terjadi permasalahan di tingkat global.
"Modal asing dalam portofolio itu mudah 'lari' ke luar negeri," ujarnya ketika dikonfirmasi Republika, Kamis (11/4).
Piter menambahkan, pemerintah harus segera mengantisipasi CAD dari akar, mengingat negara tetangga sudah banyak yang mengalami surplus. Ia mencontohkan, Singapura surplus 19 persen, sementara Vietnam surplus tiga persen dan Malaysia 2,3 persen. Bahkan, Thailand pun mengalami surplus 7,5, persen.
Padahal, Piter menuturkan, Negeri Gajah Putih ini sempat mengalami defisit transaksi berjalan 0,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2012. Kondisi tersebut semakin parah dengan defisit yang kian dalam pada setahun setelahnya, di mana CAD mencapai 1,2 persen terhadap PDB.
Angka CAD Thailand mulai membaik pada 2014 dengan kondisi surplus sampai 10,6 persen yang dikarenakan terjadi peningkatan devisa dari sektor pariwisata.
Untuk Indonesia, Piter menganjurkan pemerintah fokus untuk meningkatkan neraca finansial atau modal demi menutup CAD. Caranya adalah dengan menarik aliran masuk modal asing, termasuk melalui Surat Berharga Negara (SBN).
Apabila permasalahan CAD dapat selesai, Piter optimistis, akan ada banyak isu yang ikut terselesaikan. "Khususnya terkait peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan di lima persen," tuturnya.
Tapi, Piter menilai, CAD diperkirakan akan membaik pada 2020. Sebab, perekonomian global akan semakin membaik seiring dengan kenaikan harga komoditas. Dampaknya, Indonesia dapat meningkatkan nilai ekspor yang selama dua tahun ini mengalami hambatan karena adanya perlambatan ekonomi global.
Selain itu, Piter menambahkan, harga minyak akan kembali stabil pada 2020 setelah mengalami kenaikan pada 2019. Kenaikan tersebut berdampak negatif terhadap perbaikan CAD mengingat posisi Indonesia sebagai net importir minyak.
Dana Moneter Internasional (International Moneter Fund/ IMF) memperkirakan, CAD Indonesia adalah 2,7 persen dari Produk PDB, membaik dibanding dengan realisasi tahun lalu yang mencapai 2,98 persen. Tapi, proyeksi tersebut masih lebih tinggi dibanding dengan kondisi 2015 sampai 217 yang masing-masing mencatat defisit 2,04 persen, 1,82 persen dan 1,7 persen.
IMF memproyeksikan, kondisi CAD Indonesia akan membaik pada 2020 menjadi 2,6 persen seiring dengan melemahnya harga minyak dunia. Sementara itu, IMF juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di sekitar 5,2 persen pada 2019 dan 2020.
Prediksi IMF ini disampaikan dalam laporan World Economic Outlook (WEO) edisi April 2019 yang dirilis dalam rangkaian Annual Spring Meeting IMF-World Bank (WB) di Washington, Amerika, Selasa (9/4) waktu setempat.
Di tengah proyeksi ini, pemerintah tetap menargetkan laju CAD 2,5 persen sampai akhir tahun. Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Adrianto memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi pada 2019 tidak akan mengecewakan. Salah satunya dikarenakan impor barang modal yang sudah agak melambat.
"Impor yang masih ada akan membentuk investasi dan menggerakkan industri," ujarnya saat dihubungi Republika, Kamis (11/4).