Jumat 31 May 2019 15:45 WIB

Kemajuan Pertanian di Tangan Generasi Muda

Saatnya anak muda tampil bercocok tanam.

Red: EH Ismail
Kelompok petani muda organik.
Foto: Humas Kementan.
Kelompok petani muda organik.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Menurunnya jumlah petani, ditambah lesunya minat anak muda bergelut di sektor pertanian, membuat Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris yang subur terancam kehilangan mimpinya mewujudkan kedaulatan pangan di masa mendatang. Berdasarkan data BPS, dalam kurun 10 tahun (2003-2013), jumlah rumah tangga petani berkurang sebanyak 5 juta. 

Program Duta Petani Muda oleh Kementerian Pertanian yang pertama kali digelar pada 2014 silam, tengah menggalakkan isu seputar regenerasi petani ke masyarakat luas. Hal ini guna menampik berbagai anggapan miring seputar pekerjaan petani, seperti anggapan pekerjaan petani kotor, miskin, tidak jelas pendapatannya dan sebagainya.

Atas dasar itu pula, tak heran juga dari tahun ke tahun jumlah petani di Indonesia terus menyusut. Dalam kurun waktu 2010 - 2014 berdasarkan data sensus pertanian saja, sudah ada sekitar tiga juta tenaga kerja yang rela keluar dari dunia pertanian. Presiden Joko Widodo pernah mengungkapkan kegelisahannya tentang masa depan dunia pertanian Indonesia, mengingat banyak sarjana pertanian yang justru bekerja sebagai pegawai bank. 

Kekhawatiran Presiden Jokowi ini cukup beralasan karena petani punya andil cukup besar dalam ketahanan pangan nasional. Data BPS 2013 bahkan mencatat sekitar 61 persen petani Indonesia berusia di atas 45 tahun. Masih banyak generasi milenial yang menganggap profesi sebagai petani tidak keren dan memiliki masa depan suram dibandingkan profesi lainnya.

Direktur Perlindungan Hortikultura Sri Wijayanti Yusuf dalam diskusi dengan Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI) di Kampus Universitas Sumatera Utara, beberapa bulan lalu menekankan pentingnya peran mahasiswa di sektor hortikultura. Hortikultura merupakan sektor menjanjikan untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, mulai dari komoditas sayur, buah, tanaman hias dan tanaman obat.

"Bisnis di bidang hortikultura masih sangat terbuka. Kita masih membutuhkan banyak pengusaha muda untuk berani terjun di bidang hortikultura," jelas Direktur yang biasa dipanggil Yanti ini.  Bisnis hortikultura, kata Yanti, mulai dari produksi, pasca panen, pengolahan hingga pemasaran masih membutuhkan banyak pengusaha untuk terlibat.

Yanti mengajak para mahasiswa memahami untuk terjun langsung ke lapang, sehingga setelah lulus dari universitas sudah menentukan pilihan usaha yang akan digeluti. 

Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman optomistis mewujudkan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045. Amran mengatakan generasi muda berperan penting untuk mempercepat peningkatan produksi pertanian.

Adapun kebijakan dan capaian Kementan dalam 4 tahun berjalan pemerintahan Jokowi-JK di antaranya keberhasilan swasembada beras, bawang, dan cabai sejak 2016 hingga 2017. Jagung pun dari 2017 hingga saat ini belum ada impor. 

Skenario menuju lumbung pangan dunia melalui tahapan-tahapan yang membutuhkan “political will” dan "political action” yang serius termasuk dukungan infrastruktur, inovasi teknologi yang terus berkembang dan kekuatan kelembagaan pertanian dari seluruh lini baik pusat dan daerah. Juga keterkaitan dan peran serta elemen lain tidak hanya dalam aspek non teknis namun juga dalam bentuk teknis.

Mengubah imej petani

Dewasa ini penting mengubah imej petani dari yang selama ini diindentikkan dengan tua, miskin, pekerjaan kotor, kurang berpenghasilan menjadi petani muda, keren, menguntungkan, kekinian dan tentunya kaya. 

Bob Sadino (alm) contoh nyata. Beliau mengawalli kariernya sebagai penjual telur ayam dan petani melon sehingga sukses menjadi pengusaha dan menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia.

Negara maju seperti Amerika juga memiliki daftar orang terkaya yang berasal dari pekerjaan sebagai petani seperti Harry Stine dan juga Howard Buffet keduanya adalah pemilik perusahaan yang bergerak di bidang pertanian dan masing – masingnya sukses tercatat sebagai orang terkaya di Amerika. Memang, pada awalnya akan banyak sekali tantangan.

Alamanda, salah satu Kelompok Tani tanaman hias pengolah rangkaian Dracaena Sanderiana di Kabupaten Sukabumi. Anas, ketua kelompok, merupakan petani muda yang cukup aktif melakukan ekspor ke beberapa negara. 

Dengan adanya ekspor ini maka Kelompok Tani Alamanda telah membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Anas mengatakan dari keseluruhan ekspor kali ini Poktan Alamanda sendiri memasok 20 persen dan 80 persen dari plasma atau masyarakat sekitar. 

“Dengan bertani berarti kita bersahabat dengan alam, bila kita menghargai alam maka alampun memberikan kesejukan, kedamaian dan kekuatan, atas 3 unsur itulah akan memberikan manfaat pada manusia dan isinya," jawab Anas ketika ditanya mengapa dia memilih bertani.

Keberadaan kampus sebagai civitas akademika juga diharapkan mampu menjadi lokomotif perubahan. Merubah paradigma bahwa pertanian merupakan sektor yang menjanjikan jika dikelola dengan benar dan memperhatikan kaidah agribisnis yang tepat.

Pertanian bukan hanya berkutat soal budidaya saja, tetapi dimulai dari proses manajemen pra tanam, budidaya hingga pasca panen. Dengan proses manajemen yang tepat akan menimbulkan daya tarik baru bagi generasi petani muda.

Kampus juga diharapkan mampu memberikan inovasi terbarukan dengan dikembangkannya riset – riset berkualitas untuk menghasilkan teknologi pertanian modern serta berkelanjutan yang dapat meningkatkan produktivitas serta nilai tambah sektor agraris. 

Demikian pula pemerintah perlu memberikan dukungan untuk mendorong terciptanya riset untuk diaplikasikan ke petani langsung. Bahkan saat ini digitalisasi pertanian sudah mulai diaplikasikan oleh petani di beberapa daerah. 

Sebagaimana proyek percontohan yang dikembangkan pemerintah di Brebes, Jawa Tengah tentang “Petani Digital”. Begitu juga aplikasi digital canggih validasi data yang diberi nama “HARA” juga sudah mulai digunakan di Lampung dan Merauke. Aplikasi tersebut juga memberikan dampak positif terhadap kenaikan produksi pertanian. Produk digital semacam ini perlu terus dikembangkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan gaya hidup anak muda dewasa kini.

Pendek kata, krisis petani muda merupakan satu dari sekian permasalahan di sektor pertanian. Untuk itulah diperlukan adanya integrasi antara pemerintah, kampus, serta petani muda itu sendiri dalam hal mendekonstruksi serta merekonstruksi paradigma baru dalam hal bertani. Tanpa adanya integrasi antar ketiganya jangan harap ancaman regenerasi petani akan dapat diatasi.

Figur petani muda

photo
Ulus Pirmawan, petani muda menanam dan memasarkan sayuran

Ulus Pirmawan, salah satu sosok petani sayur yang sukses dan tidak bisa dianggap sebelah mata. Beliau merupakan seorang tokoh pemuda tani yang berjuang di sektor pertanian. Ulus berdomisili di Kampung Gandok, Desa Suntenjaya, Cibodas -  Lembang. Kerja kerasnya mampu menunjukkan bahwa petani bisa berkembang. 

Setelah beranjak dewasa, Ulus Pirmawan banyak belajar mengenai pertanian, baik yang diadakan oleh Dinas Pertanian maupun lembaga atau perusahaan yang kompeten dengan dunia pertanian. Dirinya pernah menjadi supplier dan pada tahun 2005 mendirikan Kelompok Tani Baby French.

Setelah sukses dengan Kelompok Tani Baby French, ia mendirikan kembali gabungan kelompok tani yang diberi nama Wargi Panggupay. Wargi Panggupay membawahi delapan kelompok tani produktif. Seluruh kelompok tani ini berperan aktif dan terlibat langsung dalam program tanam. Wargi Panggupay juga melakukan kerja sama dan menjalin kemitraan dengan Eksportir PT Alamanda Sejati Utama, Fortuna Agro Mandiri (Farm/Multi Fresh) dan supplier supermarket.

Bermodal pengalaman dan pengetahuan, usahanya terus berkembang menjadi ladang bisnis menguntungkan, berkelanjutan dan berkesinambungan. Bahkan dirinya mampu meregenerasi anak - anak muda di sekitarnya untuk giat bertani. 

Lain kisah Doni Pasaribu. Seorang sarjana pertanian yang memutuskan sepenuh hati memilih pertanian sebagai jalur bisnis. 

"Ini adalah panggilan hati. Dulu orang bertani karena keturunan. Sekarang saya sendiri memilih jadi petani," jelasnya. 

Dirinya juga merasa prihatin apabila lahan pertanian tidak dimaksimalkan. Pemuda berusia 22 tahun ini nyaman dengan profesi sebagai petani karena memiliki fleksibilitas waktu namun tetap berpenghasilan mencukupi. 

"Kalau lahan pertanian  tidak digunakan bertani maka lahan yang ada lama - lama bisa habis. Inilah kesempatan menghancurkan doktrin negatif bertani sulit kaya. Bertani bisa sukses. Sayang kalo sarjana pertanian tapi tidak bertani. Penghasilan saya memang di bawah Pak Ulus tapi penghasilan saya bisa melebihi dari seorang PNS," ucapnya bersemangat. 

Ada sosok lain di samping Doni. Seorang lulusan SMK Komputer. Meski baru berusia 21 tahun, Umbara sudah mampu mengisi pasokan pasar retail wilayah Bandung sampai Jakarta. 

Seharusnya menjadi petani itu adalah kebanggaan. "Di sini banyak orang tuanya yang petani tapi anaknya tidak mau bertani. Kita harus meningkatkan potensi diri. Pendapatan minimal  saya Rp 200 ribu per hari," jelas Umbara ketika ditanyakan berapa nilai penghasilannya.

Penghasilan sebesar itu adalah angka minimal yang dapat diperolehnya sehari - hari. Tidak jarang dia mampu menghasilkan berkali - kali lipat. Pemuda asli Desa Suntenjaya meyakini bahwa dirinya tidak akan beralih profesi.

"Sesunguhnya sebagai penerus bangsa, kita itu bisa lebih terbuka ke bidang pertanian. Pertanian itu lebih menjanjikan, bisa atur waktu kerja sendiri. Penghasilannya bagus. Pasar dalam negeri masih membutuhlan. Peluang di pasar ekspor juga masih terbuka luas. Indonesia harus jadi lumbung pangan dunia," ucap Ulus menyemangati.

Deden Wahyu, petani muda paprika asal Bandung Barat sangat mengapresiasi usaha dan bantuan Kementan dalam mengembangkan paprika di Bandung Barat. 

"Bantuan yang sudah kami dapatkan yaitu mobil pendingin, container, dan rumah kemas. Tentunya juga pendampingan sehingga kami bisa memproduksi 60 ton sebulan dari luas lahan 6 hektare,"terang ketua Kelompok Tani Dewa Family ini.

Pasar paprika sangat menjanjikan untuk dalam dan luar negeri.  "Kami ekspor sebanyak 10 ton sebulan. Yang paling diminati adalah paprika warna hijau, merah dan kuning. Ada juga warna ungu, putih dan hitam. Dijual dengan harga berkisar 20 ribu sampai 50 ribu per kg,"  ungkapnya. Deden berharap benih paprika bisa dibuat sendiri di tanah air sehingga tidak lagi mengimpor dari luar.

Petani milenial Tana Toraja

photo
Latief (kiri) petani muda asal Tana Toraja Sulawesi Selatan

Jauh di Tana Toraja, Latief, sosok petani muda anggota Kelompok Tani Madandan penerima bantuan benih bawang merah Ditjen Hortikultura. Sehari - hari dirinya membudidayakan tanaman cabai, tomat dan sayuran secara organik di atas lahan 10 hektare. Bersama 10 orang petani di kelompoknya menyuplai Pasar Rantepao dan Pasar Bolu. 

"Sekarang kesadaran masyarakat untuk memakan makanan organik yang sehat semakin besar. Penjualan sayur organik meliputi pasar - pasar daerah Tana Toraja," ujarnya.

Menariknya, lahan pertanian miliknya merupakan integrasi tiga komoditas sekaligus. Ini diyakininya sebagai upaya mewujudkan budidaya ramah lingkungan.

"Di kelompok kami ada integrasi peternakan, perikanan dan hortikultura. Pupuk dari ternak karena kita sedang mengurangi bahkan menghilangkan pestisida berbahan kimia. Pertanian berbasis organik penting untuk menjaga keamanan konsumen," jelasnya.

Membentuk penyadaran budidaya organik diakuinya membutuhkan waktu dan ketelatenan. Salah satu upaya mewujudkannya adalah melalui dukungan kaum muda.

"Kita menggalakkan pemuda untuk menjadi petani. Jangan gengsi. Saya terjun ke pertanian karena melihat potensi di Tana Toraja. Pasar kita miliki lalu apa yang menghambat untuk bertani?" ujarnya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement