EKBIS.CO, JAKARTA -- Kondisi musim kemarau dinilai akan menjadi salah satu penyebab turunnya produksi beras nasional pada tahun ini. Selain itu, pergeseran masa tanam yang terlambat menjadi salah satu penyumbang lambatnya produktivitas beras bila dibandingkan dengan tahun lalu. Produksi beras nasional pada tahun ini diproyeksi bakal turun sebesar 2 juta ton. Hal itu disampaikan guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas.
Dia mengatakan, luas lahan yang mengalami gagal panen atau puso pada tahun ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun lalu. Hal itu secara otomatis bakal memengaruhi penurunan produksi beras yang diprediksi hingga sebesar 2 juta ton.
“Memang ada juga karena kekeringan dan puso, tapi faktor lainnya ya karena masa tanam yang terlambat,” kata Andreas saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (14/7).
Dia menjelaskan, risiko puso sebelumnya telah terjadi pada musim panen pertama. Di mana seharusnya masa panen terjadi pada Februari hingga Maret. Namun yang terjadi, panen justru berlangsung pada Maret hingga April yang menyebabkan petani beralih menanam tanaman palawija.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi tercatat sebesar 32,5 juta ton setara beras pada 2018. Sedangkan Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan produksi padi pada 2019 mencapai 84 juta ton atau stara 49 juta ton beras.
Guru Besar IPB Dwi Andreas (kanan) dalam acara diskusi interaktif Dialog Empat Pilar MPR RI, dengan tema Pelemahan Rupiah dan Implikasinya Pada Ketahanan Pangan di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (6/4). (foto : MgROL_39)
Dengan target tersebut, Andreas mempertanyakan solusi pemerintah terkait kompensasi lahan. “Maksudnya mengompensasi lahan itu apa? Pertanyaannya, itu lahan apa, lahan siapa? Detailkan coba,” kata dia.
Menurutnya, lahan kompensasi sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Artinya, hal itu bukanlah sesuatu yang baru yang justru malah seolah-olah dapat dijadikan solusi menghadapi kemarau tahun ini. Maka itu, dia mengimbau kepada pemerintah untuk menghitung ulang potensi pasokan beras dengan tingkat kebutuhan.
Pemerintah diimbaunya mesti memberikan subsidi kepada petani guna memacu produktivitas mereka dalam menghadapi musim kemarau. Adapun subsidi yang dimaksud antara lain subsidi solar dan pemberian dana bagi petani yang mengalami puso.
Dia menggarisbawahi, pemberian subsidi solar menjadi penting sebab dapat digunakan petani untuk memompa air pada lahan sawah yang terdampak kekeringan.
Dia menilai, pemerintah perlu menyikapi kebijakan musim kemarau ini dengan serius sehingga dampak puso tidak memengaruhi pasokan beras nasional.
Belajar dari kasus-kasus kekeringan pada tahun sebelumnya, pemerintah dinilainya cenderung lamban dalam menjalankan aksi. Hal itu menyebabkan pasokan beras nasional sempat dipasok impor pada Januari 2018.
“Itu kita impor beras (2018) kira 1,6 juta ton, asal mulanya seperti ini. Pemerintah cenderung meremehkan kemarau, sehingga begitu cadangan beras di Bulog menipis, baru kebakaran jenggot dan akhirnya impor,” kata dia.
Sebagai catatan, Kementan menyebutkan luas lahan puso yang terdampak kekeringan tahun ini mencapai 9.358 hektare hingga 4 Juni 2019. Jumlah tersebut diklaim tidak terlalu luas dan dapat dioptimalisasi dengan dialiri dari sumber-sumber air alternatif yang dibantu dengan teknik pompanisasi dan pipanisasi.
Mengacu catatan tersebut, terdapat 100 kabupaten dan kota yang terdampak kemarau 2019 dengan total kekeringan mencapai 102.746 hektare dan puso mencapai 9.358 hektare. Adapun daerah yang mengalami puso terluas berada di wilayah Jawa Timur seluas 5.069 hektare, Jawa Tengah seluas 1.893 hektare, Yogyakarta seluas 1.757 hektare, Jawa Barat seluas 624 hektare, dan Nusa Tenggara Timur seluas 15 hektare.
Pelaksana harian (Plh) Sekretaris Jenderal Kementan Momon Rusmono memastikan, produktivitas beras nasional akan stabil meski musim kemarau diprediksi bakal berlangsung lama hingga jelang akhir tahun ini.
Menurut dia, pemerintah sudah berupaya melakukan berbagai upaya teknis di lapangan guna memacu produksi. “Kita pastikan produksi kita aman, kemarau kita atasi kok. Yang jelas, produksi pertanian kita kan sudah banyak yang surplus,” kata Momon.