EKBIS.CO, MEDAN -- Sumatera Utara menjadi salah satu wilayah penentu pertumbuhan ekonomi nasional. Porsinya mencapai 22-23 persen dari total ekonomi pulau Sumatera.
Meski demikian, Kepala Kantor Perwakilan BI Provinsi Sumut, Wiwiek Sisto Widayat menyampaikan porsinya masih 5,1 persen secara nasional. Artinya, terbesar keenam di Indonesia.
"Pada kuartal I, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3 persen, ini paling tinggi diantara kuartal I dalam lima tahun terakhir," kata dia dalam paparan di Pelatihan Wartawan Ekonomi Bank Indonesia di Medan, Jumat (19/7).
Pertumbuhan ini sama seperti kuartal IV 2018 yakni 5,3 persen, sementara total 2018 mencatat pertumbuhan 5,18 persen. Menurutnya, sumbangan terbesar ada dari operasional perusahaan daerah yakni di atas 11 persen, diikuti oleh investasi sebesar 6,12 persen dan konsumsi 4,8 persen.
"Biasanya investasi kami bisa tumbuh dua digit, tapi kini hanya 6,12 persen saja, ini jadi konsen kami nanti kedepannya," kata dia.
Wiwiek mengatakan sebagian besar penopang dari Sumatera Utara berasal dari sektor sumber daya alam. Ke depan, ia optimistis perekonomian diprediksi tumbuh lebih baik dibandingkan 2018.
Perekonomian Sumatera Utara diperkirakan tumbuh di kisaran 5,0-5,4 persen (yoy) didorong oleh perbaikan kinerja konsumsi pemerintah, ekspor antar daerah serta berkurangnya tekanan impor luar negeri. Selain itu, diharap akan ada perbaikan penyerapan anggaran dan kenaikan anggaran transfer dari pusat mendorong konsumsi pemerintah.
Sementara perluasan implementasi kebijakan B20 diyakini akan meningkatkan permintaan CPO dan biodiesel sehingga memperkuat ekspor antar daerah. Di sisi lapangan usaha, pembangunan infrastruktur bernilai besar yang terus berlanjut menopang lapangan usaha konstruksi.
Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo mengatakan pengembangan struktur ekonomi daerah sangat penting untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Apalagi kondisi ekonomi dunia saat ini masih tidak stabil.
Dody menyampaikan setidaknya kondisi perlambatan karena perang dagang akan terjadi hingga pemilihan umum presiden Amerika Serikat. "Selama ini kita mengira ini jadi alat (Donald) Trump untuk maju lagi election," kata Dody.
Saat ini kondisi perdagangan global menurun sehingga negara-negara emerging market perlu strategi untuk menambah stimulus pertumbuhan. Ini menjadi salah satu alasan BI menurunkan suku bunga acuan pada Juli 2019 menjadi 5,75 persen.
Kebijakan tersebut terkait dengan kebijakan-kebijakan BI sejak tahun-tahun sebelumnya. Dengan memotong suku bunga di saat yang tepat tidak akan mempengaruhi transaksi modal malah menambah inflow lebih banyak.
"Maka kita lihat setelah penurunan, nilai tukar cenderung menguat,kita lihat sudah mendekati Rp 13.800 per dolar AS," katanya.