EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengaku belum menerima surat pengunduran diri Komisaris Independen PT Krakatau Steel Tbk (Persero), Roy Maningkas. Rini justru meminta awal media menanyakan kabar pengunduran diri Roy kepada Presiden Komisaris atau Deputi di Kementerian BUMN.
"Ini kan komisaris, kalau dia mau nulis tapi saya belum terima. Jadi saya belum tahu. Jadi harap bicara dengan Preskomnya atau pun dengan deputi. Saya belum dapat kabar," kata Rini di Istana Kepresidenan Bogor, Rabu (24/7).
Ditanya soal kondisi perseroan Krakatau Steel saat ini, Rini menilai bahwa seluruh direksi sudah melakukan perbaikan. Ia menyebut bahwa jajaran direksi dianggap mampu melanjutkan sejumlah proyek yang terhenti, plus mampu menyelesaikan restrukturisasi utang perusahaan.
"Ya sekarang menurut saya jauh lebih baik. Tanya sama direksilah, kan ada direksinya ada dewan komisarisnya, mereka sudah melakukan banyak hal perbaikan," kata Rini.
Diberitakan sebelumnya, Komisaris Independen Krakatau Steel, Roy Maningkas, mengajukan surat pengunduran diri kepada Kementerian BUMN. Keputusan Roy bermula dari respons Kementerian BUMN yang negatif terhadap kritik dan saran atau dissenting opinion proyek blast furnace yang tengah digarap perseroan.
Dissenting opinion yang disampaikan Roy berkaitan erat dengan proyek pabrik peleburan baja tanur tinggi atau blast furnace yang dimulai sejak 2011 silam. Proyek tersebut didirikan agar perseroan bisa memproduksi hot metal.
Namun, dalam keberjalanannya, proyek tersebut mengalami banyak masalah. Nilai investasi Krakatau Steel yang semula direncanakan Rp 7 triliun membengkak menjadi Rp 10 triliun. Selain itu, penyelesaian proyek terlambat 72 bulan dari rencana semula.
Adapun pembangunannya, Krakatau Steel menggandeng kontraktor asal Cina, Capital Engineering and Research Incorporation Limited atau MCC CERI.
Dari sisi bisnis blast furnace, Roy menyebut bahwa harga pokok produksi (HPP) slab yang dihasilkan lebih mahal 82 dolar AS per ton. Menurut dia, jika dalam setahun produksi sebanyak 1,1 juta ton, maka Krakatau Steel berpotensi merugi Rp 1,2 triliun akibat harga yang lebih mahal itu.