EKBIS.CO, JAKARTA -- Seseorang memiliki kecenderungan untuk 'langganan' merek. Konsumen membeli barang berdasarkan merek dan brand menjadi identitas sebuah produk untuk dikenali masyarakat. Namun bagaimana jika produk-produk yang beredar di pasaran memiliki kemasan polos atau tidak bermerek?
Kebijakan pembatasan merek (branding) dan kemasan polos (plain packaging) sebenarnya telah diberlakukan oleh beberapa pemerintah negara di dunia seperti Australia, Ekuador dan Chile. Ini diterapkan untuk produk tembakau sejak tahun 2014 dan akan diperluas ke produk konsumsi lain yang dianggap mengancam kesehatan masyarakat.
Di Indonesia, ide ini masih ada di ranah pembahasan. Indonesian Packaging Federation (IPF) mengajak seluruh pihak untuk berdiskusi mencari solusi terbaik terkait kebijakan ini lewat forum diskusi (FGD) dengan lebih dari 100 peserta mewakili perusahaan dan asosiasi yang bergerak di industri kemasan, makanan dan minuman.
Beberapa contoh negara yang mulai memberlakukan kebijakan tersebut di tahun ini misalnya Thailand yang mengatur standarisasi kemasan polos untuk produk tembakau. Singapura juga mewajibkan produk tembakau menggunakan kemasan polos dengan grafis peringatan kesehatan.
Chile memberikan label tanda stop untuk makanan yang dianggap memiliki risiko kesehatan. Business Development Director IPF, Ariana Susanti menyampaikan peraturan tentang pembatasan merek dan kemasan polos yang terjadi di negara-negara dunia pada dasarnya sudah mulai terjadi di Indonesia sejak tahun 2014.
"Namun, gaung aturan ini belum dirasakan oleh banyak pihak karena kebijakan ini menyasar khusus produk tembakau," katanya dalam siaran siaran pers yang diterima Republika.
Di awal tahun 2019, semakin banyak negara lain yang mengumumkan untuk mulai memperlebar cakupan kebijakan mereka ke produk konsumsi yang dianggap memiliki risiko kesehatan, termasuk Indonesia. Pada praktiknya, kebijakan bisa muncul dalam beragam bentuk.
Salah satunya kelak dapat dilihat dalam bentuk perpajakan, peringatan kesehatan bergambar, pembatasan atau larangan label, iklan, serta promosi produk. Hal ini tentu saja dinilai sangat mengkhawatirkan bagi para pelaku industri dan konsumen.
Dampak yang dihasilkan bisa merugikan kedua belah pihak. Dari sisi konsumen, minimnya identitas dan informasi akan membatasi kebebasan mereka memilih produk yang mereka inginkan. Ada juga peluang masuknya barang-barang palsu atau ilegal akan makin terbuka lebar.
Sementara itu, dari sisi pelaku bisnis aturan ini berpotensi membatasi kreativitas dan inovasi perusahaan. Padahal ini salah satu cara mereka menjaga kelangsungan identitas brand atau produknya.
Diskusi yang bertajuk Packaging & Branding di Era Industri 4.0 ini dibuka oleh Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang diwakili oleh Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Edy Sutopo. Dalam paparannya, Edy Sutopo menilai industri kemasan di Indonesia saat ini tengah berada di masa pertumbuhan yang cukup signifikan, yakni sekitar enam persen di tahun 2018.
Menurut Edy, banyak yang perlu dicermati di era industri 4.0. Seperti bagaimana kelangsungan bisnis industri kemasan dan turunannya bisa memberikan nilai lebih bagi konsumen. Tapi juga sekaligus bisa memberi dampak baik bagi sekitarnya, mulai dari lingkungan, kualitas makanan/minuman, keamanan dan lainnya.
Ia yakin era 4.0 adalah era kolaborasi untuk mencari solusi terbaik, bukan malah membatasi. Ariana memastikan forum diskusi bukan untuk menghalangi upaya siapapun untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih sehat. Ia selaku pelaku industri sangat terbuka dengan ajakan untuk berkolaborasi untuk memajukan taraf hidup masyarakat.
"Namun, kami juga sangat berharap kebijakan pemerintah mampu menjadi solusi jangka panjang, konkrit dan tepat sasaran," kata Ariana.