Kehadiran Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) di Indonesia, seperti agen-agen remitansi dan layanan uang & dompet digital telah mengisi kekosongan di segmen unbanked dan under banked. Sebagai contoh, tahun 2018 lalu, industri remitansi sendiri mencapai us$8,9 miliar (tumbuh 24,7 persen), membuat Indonesia masuk ke dalam daftar sepuluh besar penerima remitansi di Asia. Industri remitansi hanya satu contoh. Persoalannya sekarang, siapa yang dapat mendorong inklusi keuangan lebih jauh?
Founder KOKU, Calvin Go menyatakan meski saat ini banyak LKNB berkolaborasi dengan pemain-pemain fintech dan teknologi baru, nyatanya mereka mengalami kesulitan untuk keluar dari silo sebelum ada kolaborasi tersebut. Artinya, sebelum peluang-peluang bisnis terbuka karena kolaborasi dengan fintech, lembaga-lembaga ini hanya beroperasi secara satu dimensi saja.
“Dengan memanfaatkan teknologi, mereka mampu untuk menyediakan penawaran-penawaran pertama secara digital yang menumbuhkan kemampuan untuk memperluas dan menaikkan operasional bisnis mereka,” kata dia kepada Warta Ekonomi, belum lama ini.
Baca Juga: Dompet Digital Belum Ganggu Likuiditas Perbankan
Di Indonesia, sekitar 52% dari populasi tetap tak tersentuh layanan perbankan. Ini membuka peluang bagi LKNB untuk mewujudkan janji mereka dalam memperluas inklusi keuangan. Dengan memanfaatkan teknologi, LKNB menyediakan pengalaman keuangan berbasis digital yang mulus dan mudah bagi individu di populasi masyarakat yang belum terlayani. Dengan demikian nilai bersih inklusi keuangan dapat terjaring lebih jauh lagi.
“Misalnya, Indonesia terdiri dari 17.500 pulau dan di pulau Jawa saja terdapat 60 persen populasi dan jaringan keuangan yang mapan, sementara pulau-pulau lain di Indonesia belum sepenuhnya menikmati manfaat dari jasa keuangan,” tambah dia.
Saat ini, Indonesia sudah tidak asing lagi dengan pemain di jagat remitansi yang bergerak di tepian dalam menjalankan keuangan – bermitra dengan raksasa teknologi Go-Jek dan Doku sebagai contoh yang tepat. Walau demikian, sebagian besar kemitraan baru datang dari perusahaan Unicorn teknologi, yaitu Grab. Menggandeng platform pembayaran digital Indonesia OVO, layanan remintansi GrabPay milik Grab memungkinkan masyarakat, baik yang terjangkau perbankan ataupun tidak, dapat bertransaksi secara instan dan aman.
Baca Juga: Remitansi Jalankan Perekonomian, Moratorium Pengiriman TKI Mesti Dievaluasi
“Era digital untuk IKNB menandakan perubahan besar di industri remitansi Indonesia. Populasi yang belum terlayani, baik di dalam maupun di luar negeri, berhak mendapatakan kedekatan dengan layanan keuangan, tanpa terhalangi faktor-faktor di luar kendali mereka. Ini saatnya para pemain remitansi mendefinisikan kembali industry remitansi di Indonesia,” kata dia.
Dengan contoh-contoh tersebut, terbukti bahwa teknologi membantu menurunkan beban biaya dalam menjaring pelanggan, yang sebelumnya merupakan hambatan bagi masyarakat yang tak terjangkau perbankan dalam mendapatkan akses ke jasa keuangan. Inklusi keuangan bukan tugas IKNB semata, dan sudah banyak inovasi yang dikembangkan oleh baik para pemain remitansi lama maupun baru, di dunia keuangan secara global dan regional.
Baca Juga: Bank Royal Jadi Pesaing Fintech P2P Lending? Begini Kata Bos BCA!
Pada level global, lembaga remitansi terbesar, Western Union, meluncurkan aplikasi remitansi yang memungkinkan pembayaran ke rekening bank dan dompet mobile lintas batas negara. Sudah banyak contoh juga kolaborasi untuk mengembangkan kategori ini di kawasan Asia Tenggara. Contohnya, diluncurkannya Liquidpay dan Kashmi di Singapura, dan Omise di Thailand.
“Pada dasarnya, dengan hambatan dan biaya yang berkurang dan hilang karena teknologi, LKNB kini berada pada posisi sebagai agen perubahan di Indonesia – untuk membuka dan menyediakan kemampuan akses keuangan bagi masyarakat yang tak terjangkau bank, dan membawa mereka semakin dekat kepada inklusi keuangan,” kata Calvin.