EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), memberikan tanggapan atas kasus yang menimpa salah seorang warga Jawa Timur (Jatim) yang ditagih pajak senilai Rp 32 miliar dari sejumlah usaha yang bukan miliknya. Kemenkominfo menduga ada pemalsuan data dalam kasus yang menimpa warga bernama Adi itu.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Humas Kemenkominfo Ferdinandus Setu mengatakan, harus ada serangkaian proses untuk menindaklanjuti kasus tersebut. "Artinya kan ada pemalsuan data ya. Maka harus ada proses pembuktian bahwa yang bersangkutan (Adi) bukanlah orang itu (orang yang disebut menunggak pajak sebesar Rp 32 miliar)," ujar Ferdinandus ketika dihubungi Republika, Kamis (8/8).
Nantinya, kata dia, pihak kepolisian yang akan mencari tahu siapa sebenarnya otak dibalik peristiwa tersebut. Pasalnya, kata Ferdinandus, Kemenkominfo menilai persoalan pemalsuan data seperti ini sudah memiliki dasar hukum pidananya yakni pasal 32 UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 yang merupakan perubahan atas UU ITE Nomor 11 Tahun 2008.
"Meski belum ada UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), tetapi di situ (UU ITE) sudah diatur soal larangan mentransfer data pribadi kepada orang yang tidak berhak ya. Kemudian UU ITE telah mengatur sanksi pidananya baik kurungan maupun denda, " ujarnya.
Sanksi pidana yang dimaksud ada di pasal 48 ayat (2) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016. Aturan ini berbunyi 'Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000 (tiga miliar rupiah)'.
"Tapi, perlu dicatat bahwa penelusuran dan pembuktian ini nanti akan memakan waktu yang panjang," katanya.
Sebelumnya, seorang laki-laki asal Jatim mengaku terkejut ketika petugas pajak mendatangi rumahnya dan menuduhnya menunggak pajak sekitar Rp 32 miliar. Pajak itu terkait dengan transaksi bisnis enam perusahaan yang menggunakan namanya.
Untuk keamanan, nama laki-laki ini dirahasiakan, dikutip ABC.net.au, ia hanya disebut Adi (43). Adi mengaku tidak pernah mendirikan perusahaan atau bahkan meminjam uang.
Ia menduga data rahasia kependudukan miliknya disalahgunakan pihak tertentu. "Transaksi tersebut melibatkan enam bisnis yang berbeda, mulai dari pertanian hingga tekstil, semuanya," ujar Adi kepada media Australia itu, Rabu (7/8).
Kasus dan klaim Adi masih dalam penyelidikan pihak berwenang Indonesia. Pengamat menunjukkan serangkaian titik lemah dalam fasilitas penyimpanan data digital negara yang mungkin berkontribusi terhadap situasi seperti itu.
Sebagai contoh, saat ini, satu basis data nasional Indonesia yang menyimpan data jutaan warga memiliki banyak kekhawatiran tentang penyimpanan informasi sensitif seperti nama, alamat, nomor identitas nasional, nomor file pajak, biometrik, jenis kelamin, dan agama.
Sementara itu, menanggapi kasus ini, Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakhrulloh mengatakan, kepolisian akan bertindak mengusut kasus ini. "Nanti akan bekerjasama dengan Dirjen Pajak dan Kemenkumham, yakni Dirjen Administrasi Hukum Umum, karena ini ada kaitannya dengan pendirian perusahaan," ujarnya lewat keterangan tertulis kepada wartawan, Kamis siang.
Dari situ, lanjut Zudan, bisa dibuka akta pendirian perusahaan. Zudan pun menegaskan bahwa belum tentu data yang diduga dipalsukan itu bersumber dari data Dukcapil Kemendagri.
Sebab, saat ini data kependudukan masyarakat tersebar di mana-mana. Namun, bukan berarti data itu dikeluarkan oleh pihak atau instansi lain.
"Jadi bukan dikeluarkan (oleh pihak lain), melainlan dikumpulkan oleh lembaga lain. Misal data kita ada di bank, kampus, asuransi, polri, pajak, di hotel, di klub olahraga, di KPU, dan lain-lain, " katanya.