Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) dan ditargetkan rampung sebelum pergantian lembaga legislatif, yakni pada akhir September mendatang.
Pakar hukum telematika Universitas Indonesia Edmon Makarim menilai kebutuhan akan Undang Undang Keamanan dan Ketahanan Siber untuk Indonesia sudah ada di level darurat.
"Sepanjang saya telusuri dinamika hukum telematika nasional sejak setelah reformasi sampai saat ini, RUU untuk keamanan dan ketahanan siber ini bukan lagi urgency, tapi kondisinya agak emergency," ujarnya dalam keterangan tertulis yang Warta Ekonomi terima, Selasa (13/8/2019).
Baca Juga: Pegiat Cyber Security Bongkar Kelemahan RUU Kamtansiber
Hal tersebut disampaikan pada saat jumpa pers di sela acara diskusi publik dan simposium RUU Keamanan dan Ketahanan Siber yang digelar Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Senin (12/8/2019).
Menurut Dekan Fakultas Hukum UI itu, semua yang terhubung dengan internet itu memiliki kerawanan pada sistem keamanannya. Ia pun menambahkan, "Semua instansi yang ada mempunyai keterbatasan kewenangan."
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, keamanan dan ketahanan nasional terkait ruang siber wajib dilindungi oleh negara, kata Edmon.
UU terkait keamanan siber dinilai penting. "Seandainya ada permasalahan, semisal ada serangan siber, diperlukan lembaga sentral yang mengolaborasi pemulihan kondisi kembali," paparnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI Bambang Soesatyo mengatakan RUU KKS, yang dinisiasi oleh DPR diharapkan bisa selesai akhir September 2019 sehingga bisa segera melindungi kedaulatan Indonesia di ranah siber dan menjaga kepentingan publik dari segala risiko gangguan siber.
"Penyusunan substansi materi dan muatan teknis RUU ke depannya juga sudah memperoleh masukan dari berbagai pihak, para stakeholder, termasuk dari BSSN sendiri," kata Bamsoet seraya menambahkan sejauh ini seluruh fraksi di DPR telah setuju.
Baca Juga: Dewan Pakar Siber: RUU Kamtansiber Tumpang Tindih dan Membingungkan
Bamsoet mengatakan, setidaknya ada lima hal utama yang diatur dalam RUU KKS, yakni terkait keamanan data, aplikasi, pengguna akhir (end point), jaringan, dan perimeter.
"Sekarang tinggal kita menunggu penyelesaiannya pembahasan di alat kelengkapan dewan dalam hal ini di Baleg (Badan Legislasi)," ujarnya.
Berdasarkan hasil penelitian Frost & Sullivan, yang diprakarsai Microsoft, pada 2018, kejahatan siber di Indonesia bisa mengakibatkan kerugian sebesar Rp478,8 triliun atau US$34,2 miliar. Di kawasan Asia Pasifik, kerugiannya bisa mencapai US$1,745 triliun atau lebih dari 7% dari total pendapatan domestik bruto (PDB) di kawasan tersebut.