EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, pelemahan nilai tukar peso Argentina terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tidak akan berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Sebab, gejolak tersebut lebih dikarenakan faktor internal yang dampaknya cenderung terbatas pada negara itu sendiri.
Sri menjelaskan, pelemahan mata uang peso merupakan bentuk respons pasar atas kekalahan calon presiden petahana, Mauricio Macri, pada pemilihan pendahuluan yang berlangsung pada Ahad (11/8). Poling awalnya menunjukkan, voting Macri tidak terlalu besar.
"Ini berhubungan dengan ekspektasi market mengenai arah policy ke depan, sehingga peso alami koreksi sangat dalam," tuturnya ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa (13/8).
Dengan kondisi tersebut, Sri menuturkan, akar permasalahan gejolak peso berawal dari kondisi politik dalam negeri. Apabila memunculkan dinamika pada pasar, akan cenderung tertutup pada negara itu saja. Kondisi serupa juga terjadi saat dolar Hong Kong bergejolak pasca aksi unjuk rasa terkait gejolak politik.
Sri menyebutkan, contagious atau penularan pelemahan mata uang akan terjadi apabila ada kesamaan antar negara. Apakah itu dari sisi kerapuhan ekonomi, eksposur terhadap nilai tukar yang berhubungan dengan besaran jumlah utang luar negeri dan sebagainya. "Kita berharap itu tak terjadi," ucapnya.
Sri menambahkan, pemerintah juga sudah mengeluarkan berbagai tahap antisipasi sejak krisis tahun 2008. Regulator sudah mencoba merumuskan kebijakan guna menghadapi kerawanan dari sektor keuangan.
Hanya saja, Sri mengakui, sentimen psikologis tidak dapat dicegah. Gejolak peso Argentina dan dolar Hong Kong dapat memberikan dampak pada negara berkembang, termasuk Indonesia. Dampak ini juga dirasakan ketika lira Turki melemah beberapa waktu lalu.
Tapi, Sri menegaskan, pemerintah terus berupaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Sesuai hasil rapat bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melihat peningkatan dinamika global sebagai landasan penentuan kebijakan berikutnya.
Di sisi lain, KSS juga memperhatikan pergeseran dari perang dagang (trade war) menuju ke perang mata uang (currency war). "Ini akan menimbulkan dampak yang jauh lebih besar kepada sentimen dan psikologis," ucap Sri.
KSSK sudah meminta kepada tiap institusi untuk terus melihat dari sisi ketahanan neraca dari masing-masing sektor keuangan, baik itu perbankan maupun non perbankan. Tidak kalah penting, Sri mengatakan, KSSK merespon melalui policy mix atau bauran kebijakan. Tujuannya, menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang kini berada di kisaran lima persen sembari menghadapi tekanan global.