Sabtu 24 Aug 2019 08:22 WIB

Organisasi Lokal dan Internasional Desak Pemblokiran Data di Papua Dihentikan

Pemblokiran Data di Papua dilakukan untuk menjaga stabilitas keamanan.

Rep: wartaekonomi.co.id/ Red: wartaekonomi.co.id
Organisasi Lokal dan Internasional Desak Pemblokiran Data di Papua Dihentikan. (FOTO: Toyiban)
Organisasi Lokal dan Internasional Desak Pemblokiran Data di Papua Dihentikan. (FOTO: Toyiban)

Warta Ekonomi.co.id, Jakarta

Langkah pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang memblokir layanan data di Papua dan Papua Barat sejak Rabu (21/8/2019) menuai protes dari sejumlah organisasi lokal dan internsional.

Organisasi relawan hak digital SAFEnet, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Amnesty International Indonesia, Yayasan Pusaka, Asia Justice and Rights (AJAR), ELSAM, Protection International Indonesia, YLBHI, LBH Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers, Yayasan Satu Keadilan, Federasi KontraS, UNIPA Manokwari, Walhi, Papua Itu Kita, Vivat Indonesia, dan Greenpeace meminta Kemenkominfo mencabut pemblokiran akses itu melalui surat teguran yang disampaikan pada aksi solidaritas, Jumat (23/8/2019).

"Akibat dari keputusan sepihak pemerintah untuk membatasi akses informasi dalam bentuk throttling (pelambatan akses), sampai hari ini pukul 13.00 WIT jaringan internet masih padam berdasarkan laporan anggota kami," kata Koordinator Regional SAFEnet, Damar Juniarto.

Baca Juga: Internet di Papua Diblokir, Pemerintah Salah Langkah?

Menurutnya, penduduk di area yang terkena pemblokiran itu jadi terjebak dalam kegelapan informasi. Ia pun menilai hal itu sangat diskriminatif.

Damar berujar, "Kegelapan infromasi harus dilawan, harus dihentikan. Kami berharap masyarakat membuka mata lebar-lebar terhadap situasi yang terjadi di Papua."

Ia juga menilai kondisi yang terjadi saat ini bukan hanya soal perlawanan terhadap hoaks dan kerusuhan. Melainkan juga perihal diskriminasi berdasarkan ras atas apa yang terjadi di Surabaya beberapa waktu lalu.

"Karena kelambatan dan ketidakmampuan pemerintah mengatasi dan langkah yang mudah dicari jalan pintas. Alih-alih menyelesaikan persoalan rasisme, malah kemudian dikorbankan masyarakat Papua dan Papua Barat," jelasnya lagi.

Di sisi lain, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri menambahkan, publik jadi tidak bisa memverifikasi hal yang sebetulnya terjadi di lapangan karena adanya pemblokiran di sana.

Baca Juga: Papua Sempat Membara, Jelas BIN Kecolongan

"Yang menjadi krusial, pertama: jika terjadi (sesuatu), jumlah korban jiwa ada berapa? Siapa yang bisa memverifikasi itu? Apakah PMI (Palang Merah Indonesia) masuk di sana? Karena sampai hari ini enggak ada satu pun yang bisa memberikan kabar situasi terakhir di Fak-fak, Timika, Biak, Nabire, dan Manokwari," jelasnya.

Hal krusial kedua, menurut Puri, berkaitan dengan akses bantuan kemanusiaan dan logistik. Hal itu harus dijadikan landasan moral dan hukum untuk menghentikan pemblokiran layanan data di Papua dan Papua Barat.

"Selama ini teman-teman organisasi di masyarakat sipil berusaha mengakses informasi tentang bantuan kemanusiaan melalui jalur gereja. Apabila akses sumber informasi dipadamkan, bagaimana jalur gereja mengabari kepada organisasi-organisasi di Jakarta untuk mengirimkan logistik kemanusiaan?" pungkasnya lagi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan Warta Ekonomi. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab Warta Ekonomi.
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement