EKBIS.CO, KENDARI -- Sagu menajdi ikon hari pangan sedunia (HPS) 2010 yang diperingati di Kendari. Sagu identik dengan panganan pokok masyarakat timur Indonesia. Masyarakat Suku Tolaki mengenalnya dengan nama Sinonggi, yakni bubur dari sari pati sagu.
Masakan serupa di Sulawesi Selatan dikenal dengan sebutan kapurung, sementara di Maluku disebut Papeda. Meski bentuknya sama, cara sajiannya berbeda satu sama lain.
Tidak hanya sinonggi, aneka panganan lokal berbahan dasar sagu akan disuguhkan bagi para tamu HPS nanti. Bahkan akan menjadi ikon pada pagelaran tahunan itu. Anton menilai, sagu menjadi sumber karbohidrat potensial untuk dikembangkan, termasuk pengembangan pasca panen sagu.
"Tanaman sagu ini tahan dengan cuaca ekstrim. Dalam kondisi liar saja luar biasa pertumbuhan dan produktivitasnya. Ini akan kita dorong, tidak hanya dalam skala nasional, namun juga ke pasar ekspor. Ekspor pun tidak hanya dalam bentuk raw , namun juga olahan," ujar Ketua Pelaksana HPS sekaligus Direktur Jenderal Hortikultura Anton Prihasto.
Berdasarkan data Ditjen Perkebunan pada 2018, Sulawesi Tenggara memiliki 5105 hektare dengan produktivitas 2795 ton tepung sagu. Tanaman sagu di Sulawesi Tenggara tumbuh alami. Sagu yang dikembangkan di wilayah ini ada dua jenia, yakni sagu rui atau pohonnya berduri dan sagu roe yang pohonnya tidak memiliki duri.
Untuk satu batang pohon sagu ukuran 10 meter, menghasilkan sagu basah sebanyak 595 kg. Apabila sudah menjadi sagu kering akan terjadi penyusutan sebanyak 40 persen atau sekitar 357 kg. Harga sagu basah per karung berukuran 17 kg senilai Rp 60 ribu.