EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemberlakuan wajib sertifikasi halal yang dimulai pada 17 Oktober 2019 dinilai terlalu terburu-buru diterapkan. Founder & CEO Halal Corner Aisha Maharani menyoroti sejumlah poin yang seharusnya dibenahi terlebih dahulu sebelum benar-benar diterapkan.
Aisha menjelaskan, sertifikasi halal yang sebelumnya menjadi kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kini beralih di tangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag).
Aisha menilai regulasi baru mengenai penerapan kewajiban sertifikasi halal belum tersosialisasikan dengan cukup baik. Akibatnya, para pelaku usaha besar maupun mikro (industri rumah tangga) mengalami kebingungan.
"Selain itu. belum siapnya BPJPH secara infrastruktur, sumber daya manusia, dan sistem yang dibuatnya membuat bingung pelaku usaha dalam mensertifikasi halal produknya," ujar Aisha dalam keterangan tertulis yang diterima Republika di Jakarta, Jumat (18/10).
Staf LPPOM MUI pada 1999 hingga 2012 itu menjabarkan persoalan yang dihadapi BPJPH secara rinci. Untuk prosedur dan syarat pendaftaran produk, kata Aisha, dalam regulasi halal sesuai UU Jaminan Produk Halal disebutkan BPJPH sebagai administrator, regulator, dan fasilitator.
Tugas administrator ini antara lain, menerima pendaftaran produk, jembatan bagi LPH dan MUI, penerbitan sertifikat halal. "Saya kritisi di gerbang pertama yaitu prosedur dan syarat pendaftaran produk," lanjut Aisha.
Aisha menjelaskan, dalam alur proses sertifikasi halal, pelaku usaha mendaftarkan produknya ke BPJPH pusat di Jakarta. Bagi para pelaku usaha yang berada di Jakarta dan sekitarnya bisa mendatangi langsung ke kantor BPJPH, sementara untuk di luar Jakarta dan sekitarnya bisa mendaftar ke kantor wilayah kementerian agama tingkat provinsi, kabupaten, atau kotamadya.
Di sisi lain, kata dia, BPJPH secara resmi belum mempunyai kantor perwakilan di 33 provinsi seperti LPPOM MUI. Artinya, pelaku usaha mendaftar secara manual, dengan membawa dokumen hard copy dan soft copy dikarenakan sistem informasi halal (SIHalal) masih dalam pengembangan.
"Di sini titik kritisnya adalah keamanan data pelaku usaha yang belum jelas dijamin oleh BPJPH," ucap dia.
Aisha juga mempertanyakan kejelasan persyaratan yang harus dipenuhi pelaku usaha guna bisa mendapatkan sertifikasi halal. Pun dengan durasi waktu untuk proses pendaftaran selesai sampai verifikasi dokumen yang juga belum adanya kepastian.
"Saya belum mengetahui pasti durasi waktu keluarnya sertifikasi halal setelah didaftarkan," ungkap Aisha.
Selain itu, Aisha juga menyoroti belum ada kejelasan soal biaya untuk mendaftarkan sertifikasi halal. Aisha mempertanyakan besaran biaya sertifikasi halal, apakah sama atau ada perbedaan terutama untuk usaha mikro seperti pedagang asongan, gorengan, tukang baso, hingga warung Tegal (warteg).
"Berapa biaya yang diberlakukan dan jika gratis maka dari mana sumber pembiayannya," tanya dia.
Aisha juga menilai sertifikat halal BPJPH belum diakui Emirate Authority for Standardization and Metrology (ESMA) Hal ini berbanding terbalik dengan sertifikat halal MUI dengan LPPOM sebagai lembaga pemeriksa kehalalannya sudah diakui ESMA.
"Dengan adanya pengakuan ESMA ini, produk yang mengantongi sertifikat halal MUI dapat melakukan eskpor ke negara-negara Timur Tengah. Bagaimana nasib produk lokal halal dengan sertifikat halal BPJPH, apakah mampu melakukan eskpor ke mancanegara," lanjutnya.
Aisha menyimpulkan BPJPH belum siap dan terlalu terburu dalam mengambil alih sertifikasi halal Indonesia. Dia berharap peralihan ini tidak membuat mundur industri halal dalam negeri.
"Semoga saja industri halal kita tidak mundur 30 tahun ke belakang yang masih harus membangun dengan tergopoh-gopoh, padahal di sisi lain, MUI dengan LPPOM-nya sudah mempunyai prosedur dan standar halal yang telah diakui dunia internasional," kata Aisha menambahkan.