EKBIS.CO, JAKARTA – Memasuki periode kedua, pemerintahan Presiden Joko Widodo memiliki tugas berat. Di antaranya, karena kinerja keuangan pemerintah yang dinilai terus memburuk. Selain karena penerimaan pajak yang menurun, beban utang pun kian besar.
“Saat ini yang terjadi adalah kemampuan anggaran kita kian lemah karena beban utang yang semakin besar,” ujar Direktur Data Indonesia, Herry Gunawan, dalam keterangan tertulis, yang diterima Republika Selasa (22/10).
Data Bank Indonesia menyebutkan, utang pemerintah pusat sejak 2014-2018 rata-rata tumbuh sekitar 14 persen per tahun. Hingga Agustus 2019, nilainya sudah mencapai Rp 4.680 triliun dan berpotensi terus bertambah.
Persoalannya, Herry mengingatkan, lajunya pertumbuhan utang tersebut tidak diikuti oleh penerimaan, yang justru realisasinya lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Hingga Agustus tahun ini, realisasinya hanya 55 persen, sementara periode yang sama tahun lalu sudah mencapai 61 persen.
“Data ini menunjukkan lemahnya kinerja pemerintah di bidang keuangan. Sebab dampak dari peningkatan utang dan menurunnya penerimaan pajak ini cukup serius. Belanja pemerintah pusat kian tak berkualitas,” ujarnya mengingatkan.
Menurut perkiraan Data Indonesia, rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio hingga akhir 2019 akan berada di bawah 10 persen, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini memprihatinkan, karena sejak 2014 -ketika itu berada di posisi 10,9 persen-kecenderungannya turun terus.
Ironinya, Herry mengungkapkan, rasio utang terhadap PDB justru melaju terus. Kalau pada 2014 berada di bawah 25 persen, sekarang sudah menyentuh angka 30 persen. Jadi berkebalikan dengan tax ratio.
“Ini menunjukkan kinerja keuangan pemerintah memburuk, bahkan cenderung tidak hati-hati,” ujarnya.
Kondisi ini membuat kemampuan pemerintah dalam mendukung belanja modal kian menurun. Padahal, belanja modal manfaatnya bisa dirasakan tahunan. Namun, sejak 2016, rasio belanja modal terhadap total belanja pemerintah pusat sudah lebih rendah dibandingkan dengan pembayaran bunga utang.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Data Indonesia yang mengutip sumber asal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), rasio belanja modal terhadap belanja pemerintah pusat pada 2016 hanya 15 persen. Sedangkan rasio pembayaran bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat sudah mencapai 16 persen.
Bahkan pada 2018 selisihnya makin besar. Belanja modal hanya 13 persen dan pembayaran bunga utang menjadi 17 persen. Untuk 2019 pun selisihnya kian dalam tanpa ada perbaikan.
“Lama-lama, APBN hanya untuk bayar bunga utang dan belanja rutin (gaji) serta transfer daerah. Sisanya utang lagi,” tegas Herry.
Dengan demikian, Herry menegaskan, alokasi belanja pemerintah pusat kian tidak berkualitas. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah harus merancang ulang rencana belanja pemerintah pusat. Khususnya dari sisi penerbitan surat utang.
“Kalau perlu pemerintah melakukan moratorium penerbitan surat utang agar pejabat di keuangan berpikir. Kalau sedikit-sedikit ditutupi dengan utang, itu hanya mau ambil gampangnya saja,” tandasnya.