EKBIS.CO, JAKARTA -- Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Belanda menyebabkan potensi kehilangan penerimaan pajak Indonesia sebesar Rp 390,5 miliar dalam periode 2010 hingga 2019. Angka ini disampaikan Perkumpulan Prakarsa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asal Belanda, SOMO, dalam laporannya bertajuk How the Indonesia-Netherlands Tax Treaty Enables Tax Avoidance.
P3B merupakan perjanjian di bidang perpajakan antara dua negara atau lebih dengan cara membagi hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang berasal dari suatu negara yang diperoleh penduduk atau residen negara lain.
Manager Research and Knowledge Prakarsa Cut Nurul Aidha mengatakan, potensi kehilangan penerimaan pajak berasal dari 27 kasus sengketa pajak di tingkat Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung. Kasus ini berlangsung antara pemerintah dengan perusahaan multinasional yang dinilai melakukan penghindaran pajak dengan memanfaatkan P3B Indonesia-Belanda.
Dari total 27 kasus, sebanyak 25 di antaranya dimenangkan oleh perusahaan multinasional. "Terdapat indikasi penyalahgunaan PB3 Indonesia-Belanda, tapi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sulit membuktikannya," ujar Nurul dalam acara peluncuran laporan di Jakarta, Kamis (5/12).
P3B Indonesia-Belanda memiliki dua tujuan, yakni penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak agar tidak menghambat perekonomian kedua negara. Tapi, Nurul menjelaskan, P3B Indonesia-Belanda kerap digunakan sebagai jalan penghindaran pajak melalui skema treaty shopping.
Treaty Shopping adalah suatu skema untuk mendapatkan fasilitas oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Misal, untuk mendapatkan penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang disediakan oleh suatu perjanjian penghindaran pajak berganda.
Treaty Shopping merupakan sebuah upaya penyalahgunaan P3B karena menggunakan pasal-pasal dalam perjanjian penghindaran pajak berganda yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya tax treaty.
Dalam pembuatan laporan, Prakarsa dan SOMO menganalisis beberapa kasus seperti Akzonobel, Boskalis, Indosat dan Friesland Brands. Hasil analisis menemukan adanya beberapa masalah struktural di dalam P3B Indonesia-Belanda.
Salah satu kelemahan utama dari P3B Indonesia-Belanda adalah ketidakjelasan pada konsep hukum seperti penerapan beneficial ownership. "Pada 2002, Belanda dan Indonesia menyepakati definisi yang seragam tentang konsep hukum tersebut, namun tidak dijalankan hingga 2015," tutur Nurul.
Permasalahan lain yang disebutkan Nurul adalah rendahnya withholding tax (pemotongan/ pemungutan pajak). Dampaknya, P3B Indonesia-Belanda menjadi yang paling populer untuk tujuan restrukturisasi pajak.
Mudahnya persyaratan yang ditentukan oleh pemerintah Belanda terkait P3B menjadikan Belanda sebagai negara tujuan dari Special Purpose Entity atau entitas yang sengaja dibuat untuk tujuan tertentu. "Terakhir, regulasi anti penyalahgunaan P3B masih kurang rigid," kata Nurul.
Atas kondisi ini, Prakarsa dan SOMO memberikan rekomendasi kebijakan pada kedua negara, Indonesia dan Belanda. Untuk Indonesia, Nurul mengatakan, pemerintah sepatutnya mengkaji semua P3B. Selain itu, memperkuat Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang BO untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan menekan penghindaran pajak.
Bagi pemerintah Belanda, Prakarsa dan SOMO memberi rekomendasi untuk mengimplementasikan persyaratan substansi yang lebih tegas di Belanda. Selain itu, mengimplementasikan hak perpajakan lebih kuat di dalam P3B Indonesia-Belanda.