EKBIS.CO, JAKARTA -- Sebanyak 53 perusahaan industri pengolahan kayu di Cina diketahui tengah mencari tempat relokasi industri untuk menghindari beban perang dagang yang tengah berlangsung antara Cina dan AS. Indonesia disebut menjadi alternatif untuk relokasi industri demi mengurangi beban yang ada.
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia, Indroyono Soesilo, mengatakan, investor dari 53 perusahaan itu telah mengunjungi Indonesia beberapa waktu lalu dan bertemu dengan asosiasi pengusaha serta pemerintah. Namun, belum memberikan keputusan lantaran iklim investasi yang dinilai belum menarik.
Kendati demikian, Indroyono mengatakan masih ada peluang untuk menggaet para investor tersebut karena pemerintah baru saja mengeluarkan kebijakan baru yang mempermudah perizinan serta membuka kesempatan luas untuk berinvestasi dalam pengelolan hutan.
"Kita asosiasi bersama pemerintah segera melakukan video conference dengan 53 perusahaan. Dibantu Duta Besar kita di Beijing. Kita akan saling menukar informasi dan kita yakin mereka akan tertarik," kata Indroyono kepada Republika.co.id, di Jakarta akhir pekan ini.
Ia menjelaskan, salah satu kemudahan perizinan investasi dituangkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 62 Tahun 2019. Beleid itu memberikan keleluasaan bagi investor untuk mengelola hutan hasil kayu maupun non kayu untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sekaligus hilirisasi kayu.
Pada hutan produksi, terutama di Hutan Tanaman Industri (HTI), pengembangan hasil hutan berupa bioenergi, ketahanan pangan, obat-obatan, kimia, dan pakan ternak juga diperbolehkan. Hal itu dilakukan agar ada optimalisasi penggunaan hutan produksi tanpa merusak ekosistem alam.
Pemerintah juga telah mengatur tanaman budidaya non kehutanan di HTI sebagai upaya peningkatan produktivitas dan penyelesaian konflik tenurial. Penggunan lahan gambut juga telah diatur sehingga pengusaha mendapatkan kepastian dalam menggunakan hak pengelolaan lahan.
"Justru kita ditantang dengan kemudahan yang diberikan. Ini terobosan dan harus disampaikan ke para investor, kalau tidak mereka pergi ke Vietnam," kata Indroyono.
Ia menyampaikan, saat ini nilai ekspor olahan kayu hasil hutan di Cina ke Amerika Serikat mencapai 30 miliar dolar AS per tahun. Sementara, Indonesia baru sekitar 800 juta per tahun. Namun, akibat perang dagang, produk kayu dari Cina yang masuk ke AS dikenakan bea masuk hingga 25 persen. Situasi itu memaksa para pemilik industri harus mencari tempat baru untuk menghindari bea masuk yang tinggi.
"Indonesia bea masuknya ke Amerika lebih rendah. Harapannya kita bisa gantikan Cina kalau memang kita bisa menarik investor," ujarnya.
Indroyono mengatakan, ke-53 perusahaan itu bergerak di bidang furnitur serta olahan kayu di luar kertas. Menurutnya, jika memang beleid yang dikeluarkan KLHK berjalan sesuai, iklim usaha dan kelestarian lingkungan akan membaik karena semuanya telah diatur secara jelas dan memberikan kepastian.