EKBIS.CO, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebutkan, pemerintah harus berhati-hati dalam menerapkan pungutan pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau pajak digital. Sebab, kebijakan ini merupakan langkah sepihak (unilateral measure).
Di sisi lain, Yustinus menuturkan, Indonesia bersama dengan negara lainnya sedang mencari solusi bersama atas perpajakan ekonomi digital (multilateral measure). "Jangan sampai kebijakan kita malah memancing retaliasi dengan negara asal platform digital," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (2/4).
Kebijakan menarik pajak digital tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/ atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Merujuk pada Pasal 6 dalam Perppu 1/2020, pemerintah akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak Penghasilan (PPh) atas kegaitan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Perppu ini diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (31/3) dan mulai berlaku pada hari yang sama. Artinya, mulai saat itu, pemerintah sudah berhak memajaki pajak perusahaan digital yang menghadirkan layanannya di Indonesia.
Yustinus menjelaskan, pemerintah juga harus pintar bernegosiasi dalam memilih skema pungutan dan nominal yang dipakai. Apabila tidak, pemilik platform digital memilih menghilangkan atau membatasi layanan di Indonesia yang berdampak pada kehidupan masyarakat.
Yustinus menekankan, pemerintah memiliki posisi tawar yang harus dimanfaatkan dengan baik. "Oleh karena itu, kita harus buat kesepakatan yang win-win, berapa pajak yang fair," ujarnya.
Skema tersebut bisa disiapkan dan mulai diimlementasikan sembari menunggu konsensus pajak digital yang sedang dibicarakan di tingkat global melalui Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/ OECD). Konsensus ditargetkan rampung pada akhir tahun ini.
Meski prosesnya tidak mudah, Yustinus menuturkan, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang/ jasa dari platform luar negeri patut didukung sebagai upaya perluasan basis pajak. Sebab, dalam kondisi sekarang, basis pajak banyak tergerus akibat aktivitas ekonomi yang terbatas.
Agar kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan baik, pekerjaan rumah otoritas pajak selanjutnya adalah menyusun peraturan turunan mengenai administrasi pemungutannya. "Ini harus segera diselesaikan supaya memberi kepastian hukum," kata Yustinus.
Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama mengatakan, pihaknya sedang menyiapkan regulasi mengenai aturan teknis penarikan pajak digital. Beleid itu akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Pemerintah akan fokus pada penarikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terlebih dahulu. Sementara basis PPN akan dijelaskan dalam PMK, PP menjadi payung hukum PPh dan pajak atas transaksi digital.
Untuk PPN, Yoga menjelaskan, PMSE dari luar negeri nanti diwajibkan memungut, menyetor dan melaporkan PPN 10 persen atas atas penyerahan barang tidak berwujud atau jasa kepada konsumen di dalam negeri. "Jadi mekanismenya akan serupa dengan PKP (Pengusaha Kena Pajak) di dalam negeri," tuturnya ketika dihubungi Republika, Kamis (2/4).