EKBIS.CO, JAKARTA--Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), Totok Lusida, mengatakan pengembang properti masih menghadapi kesulitan dalam melakukan restrukturisasi kredit di perbankan. Hal tersebut dinilai semakin membuat pengembang tertekan di masa pandemi ini.
Totok menjelaskan sekitar 76,2 persen utang jangka pendek perusahaan pengembang terbuka ada di bank swasta. Namun, utang tersebut sulit direstrukturisasi karena masih adanya tuntunan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap perbankan swasta.
"Ada kebijakan yang tidak sinkron dari OJK di mana di satu sisi meminta agar dilakukan stimulus restrukturisasi namun di pihak lain tetap memegang acuan ketat mengenai NPL dan KPI perbankan," kata Totok dalam konferensi pers virtual, Kamis (14/5).
Totok mengatakan pemerintah seharusnya lebih tegas dan jelas dalam memberikan stimulus. Menurut Totok, restrukturisasi bisa memberikan efek yang berlapis bagi industri properti secara signifikan apabila bisa dilakukan dengan cepat.
Tidak hanya properti secara khusus, Totok menambahkan, efek percepatan stimulus juga bisa berdampak bagi industri-industri penopang sektor properti, tenaga kerja serta meredam dampak sistemik jika terjadi NPL di perbankan.
Berdasarkan data Bank Indonesia per Maret 2020, menurut Totok, jumlah kredit perbankan yang disalurkan ke industri properti mencapai hampir 20 persen dari total keseluruhan kredit industri. Dari Rp1.024 triliun yang disalurkan ke sektor properti, Rp62 triliun di antaranya adalah kredit modal kerja jangka pendek.
Dari total kredit modal kerja properti tersebut, sekitar 82 persen diantaranya merupakan utang jangka pendek yang perlu ditangani secara cepat. Totok mengatakan, kredit modal kerja ini amat penting bagi pengembang untuk melakukan pendanaan awal, yang kemudian diteruskan oleh konsumen melalaui KPR atau KPA.
"Jika salah satu porsi kredit ini terganggu maka pendanaan pengembang pasti akan terpukul. Maka sangat penting untuk menjalankan restrukturisasi secara cepat," tutup Totok.