Senin 08 Jun 2020 10:42 WIB

Adang Ancaman Krisis Pangan Lewat Pekarangan

Lahan pekarangan di Indonesia tercatat mencapai 10,3 juta hektare.

Red: Yudha Manggala P Putra
Optimalkan lahan pekarangan. Ilustrasi
Foto: Kementan
Optimalkan lahan pekarangan. Ilustrasi

EKBIS.CO, Oleh: Munawar Khalil N. (ASN Kementerian Pertanian)

Awal Mei lalu, sebuah gerakan ketahanan pangan digaungkan dari Majene, Sulawesi Barat bernama program Open Donasi Bibit Pertanian. Program yang dimotori oleh Onthel Pustaka Majene ini mengajak masyarakat memanfaatkan lahan di sekitar rumah untuk ditanami berbagai komoditas tanaman melalui donasi bibit pertanian.

Tujuannya agar masyarakat dapat berperan aktif dan secara mandiri menyediakan kebutuhan pangannya. Program tersebut terbuka bagi donasi 5 bibit komoditas pertanian meliputi jagung, sayuran, ubi jalar, tomat, hingga cabai.

Gerakan tersebut diapresiasi oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sebagai upaya untuk menjaga ketahanan pangan di tengah pandemi Covid-19.

Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan mengingatkan adanya peringatan dari FAO mengenai ancaman krisis pangan.

Memang dalam laporan FAO tidak menyebutkan secara eksplisit Indonesia sebagai negara yang terancam pangannya. Namun, mengingat lesunya perekonomian dunia serta turunnya tensi perdagangan global akibat banyak negara menahan produksi pangannya untuk kebutuhan dalam negeri, pemerintah bersama masyarakat harus bergerak agar ancaman tersebut tidak menjadi kenyataan di tanah air.

Adanya gerakan tersebut sejalan dengan salah satu langkah strategis sektor pertanian menghadapi pandemi ini, yaitu mengoptimalkan lahan pekarangan sebagai sumber pangan keluarga. Menurut Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, sejengkal lahan pun harus dioptimalkan menjadi sumber pangan keluarga.

Lahan sempit bukanlah alasan untuk tidak bisa bercocok tanam, sebab pada prinsipnya budidaya tanaman dapat dilakukan di mana saja yang penting terdapat sirkulasi udara yang memadai dan mendapat cahaya. Bahkan yang tidak punya lahan pun dapat melakukan aktifitas pertanian seperti pada model vertikal farming di rumah susun/apartemen. 

Pandemi ini melambatkan pertumbuhan ekonomi negara. Kemenakertrans mencatat akan ada penambahan pengangguran baru hingga 5,23 juta orang. Sementara Menko PMK, Muhadjir Effendy memprediksi kenaikan angka kemiskinan 10 sampai 12 persen akibat pandemi. Konsekuensinya tentu pada pemenuhan pangan. Pengangguran dan kemiskinan bertambah sementara pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak bisa ditunda atau disubstitusi dengan hal lain.

Di sinilah pentingnya kemandirian pangan dibangun. UU 18 tahun 2012 tentang Pangan mendefinisikan kemandirian pangan sebagai kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beranekaragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Kata kuncinya kemampuan memproduksi pangan dari dalam negeri. Kita tidak kekurangan sumber daya alam. Lahan pekarangan di Indonesia tercatat mencapai 10,3 juta hektare atau 14 persen dari total luas lahan pertanian. Berbeda dengan Singapura yang 90 persen kebutuhan pangannya dipenuhi dari impor, tentu membutuhkan upaya lebih kuat agar tetap bertahan di tengah pandemi Covid-19.

Masih luasnya lahan pekarangan tersebut merupakan potensi yang sangat besar bukan saja sebagai sumber penyedia bahan pangan, tetapi juga dapat mengurangi pengeluaran rumah tangga.

Di tengah pandemi saat ini, pekarangan bisa menjadi aktivitas yang memiliki manfaat ganda bagi rumah tangga. Pertama, keluarga akan memperoleh sumber pangan yang sehat, dan beragam. Pekarangan dapat ditanami beranekaragam tanaman seperti umbi-umbian, buah dan sayuran. Kedua, kegiatan bertanam di pekarangan menjadi aktifitas rekreatif bagi anggota keluarga di tengah pembatasan sosial dan pen-jarak-an fisik seperti sekarang.

Anjuran untuk tinggal di rumah dan membatasi interaksi membuat waktu bersama keluarga menjadi lebih banyak. Kondisi ini jika dimanfaatkan dengan aktifitas bertanam di pekarangan, tentu akan sangat bermanfaat. Bahkan dari aktivitas bercocok tanam di pekarangan ini, bisa membuka kesempatan dan pengetahuan baru bagi setiap anggota rumah tangga untuk melihat pertanian sebagai potensi besar sumber pemenuhan pangan sekaligus sumber pendapatan.

Kajian yang dilakukan Litbang Kementan mengungkapkan bahwa apabila dikelola secara intensif, usaha pekarangan pangan dapat memberikan sumbangan pendapatan antara 7–45 persen. Studi FAO juga menunjukkan bahwa hasil dari pekarangan pangan dapat menyumbang hingga 25 persen pendapatan untuk petani miskin.

Kementerian Pertanian sendiri melalui Badan Ketahanan Pangan (BKP) mendorong upaya pemanfaatan pekarangan melalui kegiatan Pekarangan Pangan Lestari (P2L) yang tahun ini tersebar di lebih dari 3.800 titik di seluruh Indonesia.

Dengan dorongan pemerintah bersama partisipasi aktif masyarakat untuk mengoptimalkan pekarangan sebagai sumber pangan ini, kita berharap ancaman krisis pangan tidak menjadi kenyataan, karena setiap rumah tangga mampu secara mandiri memproduksi pangannya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement