Fokus dan konsisten pada positioning. Itulah yang dilakukan Lynx Films, perusahaaan produksi film (film maker). Di tengah gegap gempita film layar lebar dalam beberapa tahun terakhir, Lynx Films tetap fokus menggarap segmen bisnis film untuk iklan produk (merek). Tak kurang dari 90 persen bisnisnya dikontribusi dari film iklan.
Berdiri sejak 2004, Lynx Films dirintis oleh Rob O’hare dan Bona Palma. Rob bertindak sebagai eksekutif produksi dan direktur pengelola Lynx Films, sedangkan Bona sebagai direktur sekaligus sutradara. “Kami memang hidup dari film-film iklan,” ujar Rob. Kelahiran Wonosobo ini menegaskan bahwa Lynx Films adalah perusahaan asli Indonesia yang ia dirikan bersama Bona.
Film iklan yang digarap Lynx mulai dari iklan merek rokok hingga tisu. Kliennya, antara lain, Phillips Morris Sampoerna Indonesia, Danone, Sosro, XL Axiata, Telkomsel, dan Grab. “Kekuatan kami, setiap karya film iklan kami dibuat dengan kualitas film layar lebar. Jadi, film marketing yang kami garap selalu bermuatan makna yang kuat,” Bona menerangkan.
Ciri khas produksi Lynx Films, selain menyampaikan pesan yang diinginkan klien, juga memasukkan taste yang disukai Bona dan Rob. Yakni, bahasa-bahasa film making, sehingga berbagai estetika dan sinematika film selalu terlihat dalam karya-karya mereka. “Kami bukan sekadar membuat film komersial, tapi menyuguhkan visual communications yang berbeda melalui karya film untuk klien kami,” kata Bona.
Di saat pandemi Covid-19 ini, diakui Rob, bisnis Lynx Films juga menurun. “Biasanya dalam sebulan Lynx Films bisa syuting 6-8 iklan, sekarang hanya 2-3 iklan. Penjualan kami turun,” ungkapnya. “Tapi, kami tidak akan berhenti bergerak. Sebab itu, kami garap side project. Kami terus memproduksi, mendirikan platform bisnis baru, seperti live music video dan drama musical theater,” katanya.
Rob mengungkapkan, sejak pandemi Covid-19 merebak, perusahaan memutuskan mengurangi secara perlahan pekerjaan dengan jumlah kru yang banyak. “Sejak 12 Maret kami sudah memutuskan bekerja dari rumah,” ujarnya.
“Kami bersyukur, walau sudah di rumah saja sejak 12 Maret, kami tetap bergerak, tetap ada pekerjaan. Ada iklan Grab, Sosro, iklan susu, juga ada video klip yang sedang kami kerjakan,” kata Rob. Sejak work from home (WFH) diberlakukan, syuting dikerjakan secara remote,. “Kami tidak ada kontak syuting dengan jumlah orang banyak seperti biasanya,” tambahnya.
Rob mengatakan, perusahaannya harus tetap bergerak dan bekerja mengingat banyak kru dan karyawan yang bernaung di bawahnya. “Tim besar kami bisa ribuan kru, tapi tim inti kami ada 35 orang,” ujarnya.
Creative Director Grab Indonesia, Panca Putera, mengakui, pihaknya bekerja sama dengan Lynx Films untuk membuat iklan #SiapAntarRamadanmu Grab. Grab meluncurkan fitur Pemesanan Terjadwal untuk GrabFood, menu spesial Ramadan, dan mengumumkan acara live streaming untuk menggerakkan dukungan kepada restoran lokal selama Ramadan.
Menurut Panca, film itu dibuat dengan pola contactless. “Kami bekerja remote, semua properti, art, dan foods dikirim oleh layanan Grab,” katanya. Ia akui, pelaksanaan proyek iklan ini bak roller coaster, tetapi sangat menyenangkan karena dilakukan di saat pandemi. Proyek itu pun akhirnya sukses dengan syuting yang memakan waktu delapan hari.
Sejak terjadi pandemi Covid-19, Rob mengungkapkan, pekerjaan produksi film menghadapi tantangan tersendiri. Dalam hal eksekusi, banyak protokol yang harus disesuaikan. “Kami pastikan setiap scene film yang kami buat tidak lebih dari lima orang yang kumpul,” ujarnya. Karena itu, ketika dalam script butuh 500 orang dalam satu konsep, pihaknya tidak mau menggarapnya karena dari sisi keamanan berbahaya (ancaman penularan virus corona).
Bona mengakui, sebagai dampak pandemi, banyak kru dan talent manager Lynx Films yang tidak bisa bekerja. Maka, pihaknya pun memutuskan menggunakan mereka sebagai bintang iklan. “Kami berpikir bagaimana mereka tetap bekerja. Kita harus adaptif, agar terus bergerak, mereka pun kami gaet untuk menjadi talenta,” kata Rob.
Tidak bisa dimungkiri, cara kerja yang baru ini butuh SDM yang lebih sedikit, tidak bisa kolosal. “Dari segi biaya, 20-30 persen lebih murah dengan cara syuting seperti ini,” ungkap Rob. Bona yang biasanya tidak mengedit film pun sekarang ikut turun tangan, agar efisien dan demi mengejar jadwal deadline.
“Memang saat ini masa yang sulit, tapi dilihat positifnya, kita dipaksa untuk kreatif,” kata Rob. Bona kemudian mencontohkan dalam hal tools untuk menunjang kerja film. Dengan kondisi ini, pihaknya banyak menggunakan software yang memungkinkan mereka melakukan remote shooting. Sekarang hasil kamera lebih advance, banyak inovasi yang dilakukan.
Menurut Rob, kondisi pandemi ini justru bisa menjadi pemicu transformasi di industri iklan. Karena, sebelumnya banyak prosedur yang masih di bawah standar, misalnya terkait health and safety measure. Pandemi saat ini menjadi katalis agar semuanya berbenah dan membuat protokol yang lebih baik. (*)
Sudarmadié/Herning Banirestu