EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid, mengatakan, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) meski mendominasi perusahaan di Indonesia, nyatanya masih mengalami hambatan dalam memperoleh permodalan. Ia menilai, dibutuhkan upaya digitalisasi secara masif agar pelaku UMKM dapat lebih mudah untuk mengakses modal demi mengembangkan usahanya.
"Tantangan pembiayaan dapat diminimalisasi dengan proses digitalisasi. Dimulai dari masalah seputar agunan kredit hingga administrasi dalam pendaftaran," kata Arsjad dalam webinar yang digelar Daya Qarsa, Rabu (27/10).
Ia mengatakan, lembaga keuangan baik bank maupun non perbankan saat ini juga mulai berinovasi dalam menawarkan produk pinjaman. Namun, inovasi tersebut harus sesuai dengan kebutuhan UMKM di Indonesia.
Digitilasi dalam pembiayaan UMKM diharapkan bisa berujung pada penyaluran kredit secara langsung maupun tidak langsung. Sistem pembiayaan yang mudah diyakini akan menciptakan peluang lebih lanjut bagi pelaku UMKM untuk melakukan ekspansi bisnis atau meningkatkan produktivitasnya.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, BPS, dan Lembaga Konsultan Daya Qarsa, jumlah UMKM di Indonesia saat ini mencapai 65 juta pelaku usaha. Jumlah tersebut setara dengan 99 persen dari total perusahaan yang beroperasi di Indonesia.
Adapun UMKM sejauh ini berkontribusi sekitar 57,24 persen terhadap total produk domestik bruto nasional dan menyerap 97 persen tenaga kerja di Indonesia. Namun, data Daya Qarsa sekitar 25 persen UMKM di Indonesia mengaku masih merasa rumit untuk bisa mengajukan pinjaman. Hal itu sejalan dengan temuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di mana terjadi kesenjangan keuangan di Indonesia yang jumlahnya mencapai 165 miliar dolar AS tahun 2020.
Itu terjadi karena sebagian besar, atau sekitar 70 persen UMKM belum bisa mendapatkan dukungan permodalan dari perbankan maupun non bank. "Situasi ini pada akhirnya berdampak negatif pada kinerja bisnis mereka," kata Arsjad.
CEO Daya Qarsa, Apung Sumengkar, menambahkan, hasil penelitian Daya Qarsa menunjukkan bahwa pendanaan menjadi salah satu kesulitan yang utama selain akses pemasaran. Hal itu dipicu karena faktor keterampilan dan pendidikan yang rendah.
Hal itu pun menyebabkan adanya kesenjangan produktivitas pekerja. Dimulai dari unit usaha skala mikro, kecil, menengah hingga besar. Adapun hingga tahun 2024, ia memproyeksikan, kontribusi UMKM terhadap PDB nasional kemungkinan masih stagnan di kisaran 56-57 persen.
"Ini sebenarnya pekerjaan bagi kita semua, untuk mencari solusi bagi UMKM di Indonesia," ujar dia.
Sementara itu, Direktur Digital dan Teknologi Infomrasi Bank BRI, Indra Utoyo, mengatakan, selama pandemi berlangsung UMKM yang cenderung mampu bertahan sejak awal yang menerapkan pola bisnis secara hybrid. Itu karena mereka cukup siap dalam melakukan adaptasi transformasi digital ketika adanya pembatasan aktivitas sosial.
Namun, tantangan yang cukup besar dihadapi oleh UMKM yang justru belum terbiasa dengan sistem digital. Itu diakibatkan adanya kesenjangan dalam literasi keuangan. "Meski hampir setiap orang saat ini memiliki ponsel, tapi baru untuk kebutuhan media sosial, untuk keperluan transaksi pembiayaan belum semuanya nyaman," kata dia.
Kendati demikian, Indra mengungkapkan, BRI menjawab tantangan dalam digitalisasi dengan berkolaborasi dengan berbagai lembaga maupun entitas bisnis. Termasuk dengan perusahaan fintech yang dinilai lebih menjangkau masyarakat. Di satu sisi, regulasi otoritas untuk mendukung digitalisasi cukup memadai sehingga akan sangat membantu lembaga bank maupun non bank meningkatkna penetrasi pembiayaan kepada UMKM.
"Sekarang, tantangannya adalah terkait perlindungan data pribadi serta telekomunikasi. Sebab, soal IT itu ada di Kominfo sedangkan jasa keuangan ada di Kementerian Keuangan, jadi ke depan harus ada cross sector yang mengatur gap ini," ujar dia.