Milir, Sebuah Pemberontakan Budaya

Budaya  

Para pembahas dan peserta bedah buku “Milir: Sebuah Storytelling Masyarakat Betawi Pinggir Perspektif Ekonomi, Agama, dan Budaya” karya Syamsul Yakin. (Foto: Istimewa)

Milir itu lawan mudik. Bagi orang Kampung Parung Bingung, Depok, milir itu pergi berdagang ke Jakarta. Mayoritas ke Cikini, Manggarai, dan Tanah Abang. Orang Parung Bingung Depok sejak abad lalu sudah melakukannya. Milir pada masa itu berarti berdagang pulang pergi. Orang yang milir, seringkali juga tugur. Tugur adalah menetap sementara waktu di tempat berdagang.

Milir punya beragam tujuan. Tujuan paling umum adalah untuk mencari penghidupan. Jadi milir tak ubahnya upaya mengadu nasib di Jakarta yang dilakukan oleh orang-orang tinggal di Selatan, seperti Depok yang sering disebut orang udik yang terkesan miskin. Jadi milir adalah pemberontakan budaya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Demikian hal itu terkuak dalam bedah buku “Milir: Sebuah Storytelling Masyarakat Betawi Pinggir Perspektif Ekonomi, Agama, dan Budaya” karya Syamsul Yakin, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Rabu (22/3) di Syahida Inn Jakarta.

Penulis buku “Milir: Sebuah Storytelling Masyarakat Betawi Pinggir Perspektif Ekonomi, Agama, dan Budaya” Syamsul Yakin menyerahkan bukunya kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Amany Lubis MA. (Foto: Istimewa)

Tampil membuka acara dalam bedah buku tersebut Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Amany Lubis MA. Menurutnya, Orang Betawi begitu dikenalnya. Karena memang ia bersuamikan orang Betawi dari Mampang Perapatan. Tradisi Betawi mulai dari masakan, kue-kue, pengajian, dan kegiatan pada saat lebaran dirasakan betul oleh rektor yang berdarah Sumatra Utara dan Mesir ini. Dia bahkan mengatakan, “Anak-anak saya adalah Betawi.”

Saking gandrungnya dengan budaya Betawi, rektor yang sempat belajar 10 tahun di Universitas Al-Azhar itu, dipanggil “Mpok Rektor” oleh Prof Dr Rodoni MM ketika dia memberi sambutan sebagai Dewan Pembina Pusat Studi Betawi (PSB) UIN Jakarta. Prof Amany mengaku baru untuk pertama kalinya dipanggil “mpok”.

Menurut Rodoni yang asli Betawi, orang Betawi itu memiliki ketinggian akhlak dan pekerti yang harus dijaga. Dalam sambutannya, dia berharap agar sesama orang Betawi harus saling terus bersilaturahim dan bekerja sama. Wadahnya, salah satunya, Pusat Studi Betawi UIN Jakarta. Putra Betawi yang dikenal rendah hati dan santun ini juga kerap kali berkunjung ke ulama Betawi untuk menimba ilmu dan meminta nasihat.

Bedah buku yang didukung penuh oleh Asosiasi Pengusaha Betawi (APEBE) tidak hanya menguak isi buku, tapi juga jadi ajang temu kangen dan ngobrol-ngobrol tokoh Betawi yang hadir. Misalnya Haji Sadeli yang punya Warung Makan Khas Betawi Babeh Sadeli, H Rasyidin ketua APEBE, Kiyai Gaul (KH Abi Ridwan) hingga Bang Kubil. Dari kalangan akademisi hadir juga Ahmad Zuhdi, Ady Cahyadi, Shihabuddin Noor, Edwin Syarif, dan lainnya. Mereka adalah putra Betawi.

Bedah buku “Milir: Sebuah Storytelling Masyarakat Betawi Pinggir Perspektif Ekonomi, Agama, dan Budaya”” jadi ajang temu kangen dan ngobrol-ngobrol tokoh Betawi yang hadir. (Foto: Istimewa)

Acara yang diawali sambutan Direktur PSB, Drs Ahmad Yani MA yang juga dosen UIN Jakarta dan penceramah kondang itu mengundang gelak tawa para peserta.

Bedah buku yang dipandu Dr Kamarudiana MH sebagai moderator itu menampilkan Prof Dr Murodi MAg, seorang pakar sejarah dan penutur asli Betawi dari kalangan akademisi dan Yahya Andi Saputra yang dikenal sebagai Sahibul Hikayat Betawi Ulung dari kalangan budayawan Betawi.

Menurut Murodi, buku “Milir” karya Syamsul Yakin itu lebih tepat disebut “Folklor “ atau cerita rakyat ketimbang “Storytelling” karena buku tersebut menyajikan kebiasaan yang menjadi tradisi suatu budaya. Namun, buku ini dianggap oleh Murodi sebagai buku yang fenomenal karena mengangkat bahasa dan budaya lama Betawi yang tak lagi dikenal oleh kalangan milenial.

Secara pribadi, Murodi mengakui bahwa yang diceritakan dalam buku tersebut seperti berdagang ke Jakarta, dia juga turut melakoninya sekitar tahun 1970-an. Karena, kata Murodi, ayahnya adalah seorang pedagang Betawi. Jadi yang diceritakan Syamsul Yakin dalam bukunya, dia lebih dahulu mengalaminya dengan setting masyarakat Betawi tahun 1970-an. Kalau dicoba dibandingkan buku “Milir” nyaris serupa dengan bukunya, “Si Entong Jadi Profesor” yang berisi sepenggal kisah jejak perjalanan hidup anak Betawi yang jadi guru besar. Jadi, kalau “Milir” itu adalah otobiografi Syamsul Yakin yang tak lain adalah putra asli Betawi Parung Bingung dan pengasuh dua pondok pesantren di kawasan Depok, sementara “Si Entong Jadi Profesor” adalah otobiografi Murodi, seorang guru besar dan pakar sejarah.

Menurut Murodi, membagi Betawi menjadi Betawi Tengah dan Betawi Pinggir sudah tidak relevan lagi. Alasannya, Betawi lebih tepat dipotret dengan pendekatan kultural ketimbang teritorial.

Sementara pembicara kedua, Yahya Andi Saputra menyebut Syamsul Yakin sebagai tukang “gessah” dengan cara menulis buku. Menurutnya, tukang gessah itu adalah tukang cerita. Kata itu diambil dari bahasa Arab “Qissah”.

Menurutnya, dari 50 kisah yang ditulis Syamsul Yakin di buku “Milir” ada satu kisah yang membuatnya terharu dan sedih, yakni kisah ke-45. Bahkan dengan parau Yahya membaca kisah tersebut di hadapan peserta yang membuat suasana menjadi hening.

Menurut Yahya, inilah penggalan buku “Milir” yang membuatnya bersedih: “Mungkin hari ini kita perlu mendata. Ada berapa santri di Parung Bingung untuk tingkat MTs dan Aliyah? Ada berapa yang kuliah jurusan Studi Islam?. Ini penting. Sebab mereka yang akan jadi ulama pada masa nanti. Begitu pula para pembaca di kampung lain. Kita harus nyiapin. Siapa yang bakal jadi amil. Tukang mandiin orang mati, khatib Jumat, ngajar ngaji, mimpin zikir, termasuk yang bisa baca rawi saat muludan.”

Bagi Yahya, nama tempat, tokoh, dan kejadian yang dialami oleh Syamsul Yakin di Parung Bingung, Depok jadi perbandingan bagi orang Betawi lain di tempat yang berbeda.

Bagi Syamsul Yakin sendiri, milir adalah pemberontakan budaya. Dari orang udik yang tertinggal menjadi seorang intelektual. Kalau dulu orang Betawi Depok milir semata-mata pergi ke Jakarta untuk berdagang, baginya milir telah bertransformasi dari berdagang, membawa naskah tulisan ke koran-koran di Jakarta, ceramah di kantor-kantor, hingga kuliah dan memberi kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Irwan Kelana adalah cerpenis, novelis, wartawan dan penikmat travelling.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image