Minyak jelantah yang biasanya dibuang karena sudah tidak terpakai, ternyata bernilai ekonomis jika masyarakat mengetahuinya. Tiga sekawan, yaitu M. Rizky Ramadhan, Ahmad Khairul, dan Nifrianto Setiawan, berhasil memanfaatkan limbah minyak jelantah, bahkan mendulang untung dari pengolahannya.
Melalui CV Arah Baru Sejahtera yang didirikan pada 2019 di Pekanbaru, Riau, minyak jelantah itu berhasil dikumpulkan menjadi bahan baku untuk dijadikan biodiesel. “Lalu, kami ekspor ke beberapa negara yang bisa mengolahnya menjadi biodiesel,” ujar Rizky yang telah mengekspor produknya ke Singapura, Belanda, Italia, dan Korea Selatan.
Untuk mendapatkan minyak jelantah, pihaknya telah menyiapkan gudang di beberapa kota di Indonesia. Setiap bulan tiap-tiap gudang menyetor minyak jelantah dalam jumlah berbeda-beda. Gudang di Medan, umpamanya, bisa mengumpulkan hingga 60 ton atau tiga kontainer (1 kontainer sekitar 20 ton). Lalu, di Aceh 10 ton, Pekanbaru 2-3 kontainer, Padang 10 ton, Bengkulu 5 ton, dan Makassar 500 kg.
“Selama ini yang paling banyak di Medan dan Pekanbaru karena kedua kota tersebut sudah dibangun sebagai gudang awal,” ungkap pria kelahiran Pekanbaru 1996 ini.
Dengan modal awal sekitar Rp 50 jutaan ⸺setiap orang setor Rp 15 juta - 20 juta⸺ usahanya kini mulai berkembang sangat baik. Pihaknya gencar melakukan program marketing dan sosialisasi, termasuk meyakinkan warga setempat untuk mengumpulkan minyak jelantah.
“Jadi, untuk meyakinkan warga/masyarakat dengan adanya kegiatan ini, kami melakukan sosialisasi dari tingkat RT sampai kecamatan. Itu kami sosialisasikan ke ibu-ibu rumah tangga, melalui program Bank Jelantah Pekanbaru,” Rizky menceritakan perjuangannya.
Bank Jelantah itulah yang menyalurkan limbah minyak. Biasanya, bank itu untuk meminjam dan menukar uang. Nah, kalau di Bank Jelantah, minyak jelantah bisa ditukar dengan uang.
Pihaknya pun membentuk kelompok ibu rumah tangga di setiap RT untuk mengumpulkan minyak jelantah yang bisa ditukar dengan uang di tiap posko yang sudah dibentuk. Untuk melakukan sosialisasi ke setiap rumah, dibutuhkan waktu 1-2 bulan secara intens. Pihaknya secara door-to-door menjelaskan keuntungan bergabung untuk menyetorkan minyak jelantah ke Bank Jelantah.
“Untuk bergabung ke Bank Jelantah, bisa langsung ke saya melalui WhatsApp atau dari contact person yang dapat dihubungi di kota tersebut atau melalui laman media sosial kami di Facebook, bisa juga di Instagram, dan ada juga TikTok,” kata Rizky.
Selain menggandeng kelompok ibu rumah tangga dan komunitas, serta promosi melalui media sosial, pihaknya juga melakukan kerjasama dengan perusahaan/pelaku usaha dan restoran yang menggunakan minyak goreng. Kemudian, membuat program sedekah dengan menggandeng yayasan, juga ada program menukar jelantah menjadi emas ataupun sembako untuk membantu masyarakat atau pelaku usaha yang membutuhkan. “Jadi, untuk program marketing-nya, kami usahakan dengan segala macam cara,” ujarnya.
Saat awal merintis bisnis ini di 2019, pihaknya baru bisa mengumpulkan sekitar 1 ton minyak jelantah dan itu dijual ke eksportir lokal. Setelah itu, sejalan dengan berbagai usaha yang dilakukannya, termasuk menggandeng beberapa supplier, perolehan minyak jelantahnya terus meningkat hingga 25 ton/bulan di 2020 dan 40 ton lebih/bulan di pertengahan 2021.
“Seiring berjalannya waktu, kami berkembang, baik secara kuantitas mitra maupun tonase. Saat 2020-2021, kami bisa mencapai 40 ton/bulan. Namun, saat pandemi sedikit berkurang. Tapi sekarang, bisa mencapai 60 ton/bulan,” Rizky menginformasikan.
Menurutnya, untuk pembelian, harga tergantung pada pasar karena minyak jelantah ini dari komoditas kelapa sawit sehingga harganya fluktuatif. “Kalau untuk sekarang, kisarannya Rp 6 ribu-7 ribuan per kg. Tapi, nanti ini belum tahu juga ke depannya, bisa jadi naik bisa jadi turun. Biasanya nanti kami konfirmasi ke supplier atau pelaku usaha yang sudah bekerjasama dengan kami,” katanya sambil menyebutkan, harga ekspornya Rp 7 ribu -10 ribuan per kg, juga tergantung pada pasar.
Menghadapi 2022, target perusahaan ini ialah membuka gudang minyak jelantah di seluruh Indonesia. Adapun target dalam lima tahun mendatang: mendirikan pabrik biodiesel sendiri. “Masih perlu banyak hal yang diperlukan untuk bisa sampai ke sana,” ujar Rizky. Harapannya, Indonesia bisa bebas dari minyak jelantah untuk mendukung program pemerintah menuju go green dan go health. (*)
Dede Suryadi dan Nurina Ghassani