EKBIS.CO, SINGAPURA -- Harga minyak berjangka naik di sesi Asia pada Senin (6/6/2022) sore, dengan Brent berada di atas 120 dolar AS per barel setelah Arab Saudi menaikkan harga untuk penjualan minyak mentahnya pada Juli. Ini menandakan pasokan yang ketat bahkan setelah produsen OPEC+ setuju untuk mempercepat peningkatan produksi selama dua bulan ke depan.
Minyak mentah Brent menguat 68 sen atau 0,6 persen, menjadi diperdagangkan di 120,40 dolar AS per barel pada pukul 06.40 GMT setelah menyentuh tertinggi intraday di 121,95, memperpanjang kenaikan 1,8 persen pada Jumat (3/6/2022). Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS terangkat 61 sen atau 0,5 persen, menjadi diperdagangkan di 119,48 dolar AS per barel setelah sebelumnya mencapai tertinggi tiga bulan di 120,99 dolar AS. WTI naik 1,7 persen pada Jumat (3/6/2022).
Arab Saudi menaikkan harga jual resmi (OSP-official selling price) Juli untuk minyak mentah Arab Light andalannya ke Asia sebesar 2,10 dolar AS dari Juni menjadi premium 6,50 dolar AS terhadap rata-rata kotrak acuan Oman dan Dubai, ungkap produsen minyak milik negara Aramco pada Ahad (5/6/2022). OSP Juli adalah yang tertinggi sejak Mei, ketika harga mencapai tertinggi sepanjang masa karena kekhawatiran gangguan pasokan dari Rusia karena sanksi atas invasi ke Ukraina.
Kenaikan harga terjadi meskipun ada keputusan pekan lalu oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, bersama-sama disebut OPEC+, untuk meningkatkan produksi pada Juli dan Agustus sebesar 648.000 barel per hari, atau 50 persen lebih dari yang direncanakan. Irak mengatakan pada Jumat (3/6/2022) bahwa pihaknya bertujuan untuk meningkatkan produksi menjadi 4,58 juta barel per hari pada Juli.
Produsen minyak making hay while the sun shines(memanfaatkan keadaan yang menguntungkan), Avtar Sandu, ujar manajer komoditas di Phillip Futures di Singapura. Ia menambahkan musim panas AS mendorong permintaan dan pelonggaran penguncian Covid-19 di China diperkirakan akan menjaga harga tetap tinggi.
Keputusan OPEC+ untuk memajukan peningkatan produksi secara luas dipandang tidak mungkin memenuhi permintaan karena peningkatan alokasi tersebar di semua anggota, termasuk Rusia, yang menghadapi sanksi. "Sementara peningkatan itu sangat dibutuhkan, itu jauh dari ekspektasi pertumbuhan permintaan, terutama dengan larangan parsial Uni Eropa terhadap impor minyak Rusia juga diperhitungkan," kata analis Commonwealth Bank Vivek Dhar dalam sebuah catatan.