EKBIS.CO, KUALA LUMPUR -- Ekonomi Malaysia mencatat pertumbuhan sebesar 8,9 persen pada kuartal kedua (Q2) 2022,lebih tinggi dibandingkan 5,0 persen pada kuartal satu (Q1), menurut bank sentral.
Pertumbuhan sebesar itu didorong oleh peningkatan permintaan domestik dan pemulihan kondisi pasar tenaga kerja yang stabil, serta dukungan kebijakan yang berkelanjutan, kata Gubernur Bank Negara Malaysia (BNM) Nor Shamsiah dalam keterangannya pada Jumat (12/8/2022).
Pertumbuhan yang lebih tinggi itu juga mencerminkan normalisasi kegiatan ekonomi seiring dengan pergerakanmenuju endemi Covid-19 dan membuka kembali perbatasan internasional. BNM mengatakan ekspor tetap didukung oleh permintaan yang kuat untuk produk listrik dan elektronik. Secara sektoral, sektor jasa dan manufaktur terus mendorong terjadinya pertumbuhan.
Berdasarkan penyesuaian musiman kuartal-ke-kuartal, ekonomi Malaysia pada Q2 meningkat sebesar 3,5 persen, sedangkan pada Q1 tercatat 3,8 persen. Selama kuartal tersebut, BNM mengatakan inflasi utama dan inflasi inti masing-masing meningkat menjadi 2,8 dan 2,5 persen, dibandingkan dengan 2,2 dan 1,7 persen yang tercatat selama Q1.
Inflasi inti yang lebih tinggi, menurut BNM, mencerminkan perbaikan kondisi permintaan di tengah lingkungan biaya tinggi, dengan kenaikan harga terutama didorong oleh makanan jadi dan bahan makanan lainnya.
Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,9 persen di paruh pertama 2022, BNM memproyeksikan ekonomi Malaysia akan berkembang lebih jauh untuk sisa tahun ini. Nor Shamsiah mengatakan meskipun permintaan eksternal dapat menghadapi tantangan dari pertumbuhan global yang lebih lambat, namun prospek ekonomi Malaysia pada 2022 akan terus didukung oleh permintaan domestik yang kuat.
"Pertumbuhan juga akan diuntungkan dari perbaikan kondisi pasar tenaga kerja dan kedatangan wisatawan yang lebih tinggi, serta pelaksanaan proyek investasi multi-tahun yang berkelanjutan," ujar dia.
Namun demikian, pertumbuhan Malaysia tetap rentan terhadap pertumbuhan global yang lebih lemah dari perkiraan, eskalasi konflik geopolitik lebih lanjut, dan gangguan rantai pasokan yang memburuk, kata NorShamsiah.
Inflasi utama diproyeksikan akan cenderung lebih tinggi dalam bulan-bulan terakhir 2022, sebagian karena efek dasar dari diskon harga listrik yang diterapkan pada Q3 2021. Inflasi inti diperkirakan rata-rata lebih tinggi pada 2022, karena permintaan terus membaik di tengah lingkungan biaya tinggi.
Besarnya tekanan kenaikan inflasi diperkirakan akan tetap tertahan sebagian oleh langkah-langkah pengendalian harga yang ada, subsidi bahan bakar dan berlanjutnya kapasitas cadangan dalam perekonomian.
Namun demikian, ia mengatakan prospek inflasi tetap bergantung pada risiko kenaikan yang bersumber dari kuatnya permintaan domestik, perkembangan harga global, dan langkah-langkah kebijakan domestik.