EKBIS.CO, BANDUNG -- Para pemangku kepentingan sawit di Indonesia diharapkan untuk menciptakan situasi pasar yang kondusif. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan produk turunan atau hilirisasi produk sawit.
"Supaya kondusif maka sawit itu tidak perlu banyak (diurus) kementerian. Tapi diberikan (pengelolaannya) pada satu badan. Dialah sebagai regulator yang melapor langsung kepada presiden, kementerian yang lain hanya supporting tapi tidak perlu menjadi pembuat keputusan," kata Pelaksana Tugas Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga saat menjadi pembicara Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit bertemakan “Perkembangan dan Kontribusi Industri Hilir Sawit Bagi Perekonomian Indonesia di Bandung, Kamis (1/2/2024).
Menurut Sahat, jika badan pengelola industri sawit ini sudah berjalan dan konsisten, maka bukan mungkin produk turunan sawit di Indonesia mengalahkan Malaysia.
Saat ini, Indonesia yang memiliki luas lahan sawit mencapai 16,8 juta hektare baru memiliki 179 jenis produk turunan sawit. Sementara, Malaysia yang hanya memiliki lima juta hektare lahan sawit sudah memiliki 260 jenis produk turunan sawit.
Selain itu, Malaysia sudah menghasilkan tokotreanol yang dihasilkan langsung dari ekstrak sawit. Dan, satu kilogram tokotreanol harganya sekitar 800 dolar AS.
Sahat menjelaskan mengapa pencapaian Malaysia melampaui Indonesia. Menurutnya, karena di Malaysia pengusaha sawit aman.
"Tidak ada satpam yang tiba-tiba masuk datang ke pabrik, tidak ada kelompok pemuda-pemuda setempat yang datang, dan regulatornya teratur dan tidak berubah-ubah," ujar Sahat.
Sementara, di Indonesia kondisinya berbanding terbalik dengan Malaysia. Sehingga, membuat investor takut untuk masuk. Padahal, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar.
Sahat juga mengatakan, jika inovasi proses pengolahan produk sawit diperbaharui, maka total bisnis sawit di tahun 2028 bisa mencapai USD 107,02 Milyar USD atau sekitar Rp 15 ribu triliun pertumbuhan usaha di bidang Industri Sawit bisa tumbuh sebanyak 70,1 persen.
“Kuncinya adalah mereplanting 485.000 ha per tahun. Petani itu harus dibina, jangan dibinasakan. Maka perlu dibantu. Lalu manfaatkan biomass. Per satu ton sawit, bisa 8-9 ton biomass. Rapeseed 1 ton bio mass. Kita punya banyak tapi tidak termanfaatkan,” kata Sahat.
Sementara, Kepala Divisi Perusahaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Achmad Maulizal Sutawijaya mengatakan, pihaknya mendukung pengembangan sektor hilir industri kelapa sawit.
"Dukungan itu bukan hanya terbatas pada pengembangan hilir, tapi juga melibatkan upaya serius dalam menangani isu negatif yang terus muncul di sekitar industri kelapa sawit," kata Maulizal.
Ada sejumlah langkah kongkret yang diungkap Maulizal. Di antaranya, pemberian dukungan riset, pemantauan ketat terhadap implementasi prinsip berkelanjutan, dan keterlibatan aktif dalam memastikan bahwa industri ini terus berkontribusi pada pembangunan.
"Pentingnya aspek berkelanjutan dalam industri kelapa sawit tidak hanya dilihat sebagai tanggung jawab tetapi juga peluang untuk meningkatkan citra industri sawit di mata masyarakat," ujarnya.