EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Oktober 2024. Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky, menyatakan bahwa meskipun ada kemungkinan pemotongan suku bunga lebih lanjut, saat ini langkah tersebut belum mendesak.
“BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6,00 persen untuk saat ini,” ujar Riefky dalam keterangan yang diterima pada Rabu (16/10/2024).
Ia menjelaskan bahwa BI harus fokus pada mendorong permintaan agregat, terutama mengingat potensi melemahnya permintaan domestik. Riefky juga menyoroti bahwa tekanan inflasi pada Oktober 2024 kemungkinan besar berasal dari inflasi impor, yang dipicu oleh pelemahan nilai tukar Rupiah.
“Tekanan ini disebabkan oleh tren pelemahan rupiah sejak awal Oktober,” kata dia.
Optimisme konsumen tercatat sedikit menurun pada September 2024. Indeks Keyakinan Konsumen Bank Indonesia turun menjadi 123,5 dari 124,4 pada Agustus. Penurunan ini terkait dengan deflasi yang telah terjadi selama lima bulan terakhir. Meskipun demikian, Bank Indonesia tetap yakin bahwa inflasi akan tetap dalam kisaran target 1,5 persen hingga 3,5 persen.
Pada bulan September 2024, baik The Fed maupun BI memulai pelonggaran moneter hampir bersamaan. Pemangkasan suku bunga oleh The Fed menyebabkan arus modal asing masuk ke Indonesia mencapai sekitar 1,93 miliar dolar AS terutama ke pasar obligasi yang mencapai 1,51 miliar dolar AS. Hasilnya, imbal hasil surat utang pemerintah tenor 10 tahun turun dari 6,62 persen menjadi 6,51 persen, sementara untuk tenor 1 tahun turun dari 6,43 persen menjadi 6,08 persen.
Namun, dalam dua pekan terakhir, arus modal mulai keluar dari pasar keuangan Indonesia. Fluktuasi ini terlihat dari imbal hasil surat utang pemerintah tenor 10 tahun yang meningkat menjadi 6,73 persen, dan tenor 1 tahun yang meningkat menjadi 6,21 persen. Hal ini dipengaruhi oleh meningkatnya ketegangan geopolitik global dan ketidakpastian menjelang Pemilihan Umum di AS.
Nilai tukar Rupiah juga terdepresiasi 1,20 persen secara bulanan, dari sekitar Rp 15.300 per dolar AS di pertengahan September menjadi sekitar Rp 15.660 di pekan kedua Oktober. Pelemahan ini menunjukkan normalisasi nilai Rupiah setelah sebelumnya menguat tajam sekitar 7 persen dalam waktu kurang dari sebulan.
Di sisi lain, cadangan devisa Indonesia mencatatkan penurunan pertama dalam lima bulan terakhir, mencapai 149,9 miliar dolar AS pada September, turun dari 150,2 miliar dolar AS. Meskipun menurun, cadangan devisa masih cukup untuk menutupi 6,6 bulan impor, menunjukkan ketahanan eksternal yang kuat untuk beberapa bulan mendatang.
Secara keseluruhan, meskipun terdapat tantangan dari sisi permintaan dan nilai tukar, stabilnya nilai Rupiah dalam seminggu terakhir dan besarnya cadangan devisa memberikan harapan bagi ketahanan ekonomi Indonesia di masa mendatang.