EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Rakyat Indonesia (BRI) mengingatkan agar kebijakan penghapusan tagihan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tidak disalahgunakan oleh debitur oportunistik yang berusaha memanfaatkan kebijakan tersebut untuk menghindari kewajiban utang mereka. Direktur Bisnis Mikro BRI Supari menegaskan, meskipun program ini bertujuan untuk membantu nasabah yang benar-benar terdampak kesulitan ekonomi, perbankan tetap harus sangat berhati-hati dalam menentukan siapa yang berhak menerima fasilitas penghapusan tagih.
"Fenomena debitur oportunistik ini menjadi perhatian utama kami. Ada risiko beberapa nasabah yang seharusnya sudah layak untuk naik kelas ke kategori debitur komersial malah memilih untuk tetap di posisi pinjaman yang lebih rendah dan memanfaatkan kebijakan hapus tagih ini untuk menghindari kewajibannya," ujar Supari ditemui usai Meet The Press Menuju Satu Dekade KUR Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Nasional melalui Pembiayaan Usaha Produktif di Kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Debitur oportunistik, menurut Supari, adalah nasabah yang memiliki kemampuan finansial lebih, namun memilih untuk tetap memanfaatkan fasilitas pinjaman dengan bunga rendah tanpa berniat membayar kembali utangnya. Keadaan ini tentu saja dapat merugikan sistem perbankan dan menciptakan ketimpangan dalam akses kredit bagi nasabah yang benar-benar membutuhkan bantuan.
"Kami harus memastikan bahwa kebijakan penghapusan tagih ini hanya diberikan kepada mereka yang memang membutuhkan dan bukan untuk mereka yang hanya mencari keuntungan dari situasi ini," tegasnya.
Program penghapusan tagih dalam PP Nomor 47 Tahun 2024 ini mengatur hanya nasabah dengan pinjaman yang tercatat dalam buku utang selama lima tahun terakhir dan sisa pokok utangnya tidak lebih dari Rp 500 juta yang berhak menerima fasilitas ini. Meski demikian, Supari menekankan BRI tidak ingin kebijakan ini dimanfaatkan oleh mereka yang sebenarnya mampu membayar namun memilih untuk menghindar.
Untuk itu, BRI akan melakukan evaluasi ketat terhadap nasabah yang mengajukan permohonan penghapusan tagih, dengan mempertimbangkan tidak hanya kriteria formal tetapi juga perilaku keuangan dan potensi mereka untuk membayar utang di masa depan. "Kami tidak ingin ada debitur yang mencoba memanfaatkan celah dalam kebijakan ini. Bank harus selektif dan memastikan program ini hanya menyasar pada mereka yang benar-benar terpuruk dan membutuhkan bantuan," tegas Supari.
Selain itu, Supari juga mengingatkan bahwa nasabah yang terlibat dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR) tidak termasuk dalam objek penghapusan tagih. "KUR adalah program yang membantu UMKM untuk berkembang. Kami berharap nasabah yang menerima KUR tetap memenuhi kewajiban mereka agar bisa terus mengakses fasilitas kredit yang lebih besar dan tidak terjebak dalam perilaku oportunistik," ujarnya.
BRI juga menilai, meskipun kebijakan penghapusan tagih dapat memberikan bantuan bagi nasabah yang membutuhkan, bank harus tetap menjaga integritas sistem kreditnya. Jika kebijakan ini tidak diterapkan dengan hati-hati, ada risiko menciptakan budaya ketergantungan dan mengurangi kesadaran para debitor untuk memenuhi kewajibannya.
"Penghapusan tagih ini bukan untuk semua orang. Kami ingin memastikan bahwa hanya mereka yang benar-benar terpuruk dan kesulitan yang dapat merasakan manfaatnya. Sebagai bank, kami harus menjaga kualitas portofolio kredit agar tetap sehat," kata Supari.