EKBIS.CO, JAKARTA -- Sovereign Wealth Fund (SWF) Lembaga Pengelola Investasi (LPI) Indonesia akan memprioritaskan sektor energi terbarukan (EBT) untuk penanaman modal, selain proyek infrastruktur transportasi. Hal ini mengingat tren investasi dunia sudah mengarah pada proyek-proyek ramah lingkungan atau environmental, social and governance (ESG).
Dewan Pengawas Indonesia Investment Authority (INA) Darwin Cyril Noerhadi mengatakan sejak United Nation menggaungkan pentingnya ESG, investor global mulai memberi persyaratan agar setiap investasi yang akan dikucurkan berbasis ramah lingkungan.
"Jadi kalau kita lihat market dunia terhadap renewable demikian meningkat pesat. Trennya di dunia itu dari kaca mata investor itu disebut ESG. Jadi kalau prioritas dari kacamata kita SWF, pada saat kita mencari mitra, mereka akan melihat ada tidak yang renewable menjadi daya tarik sendiri," ujarnya saat acara Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) The Ensight bertema Sovereign Wealth Fund: Mewujudkan Pendanaan Berkelanjutan dalam Meningkatkan Ketahanan Energi seperti dikutip Ahad (9/5).
Namun demikian, dia tidak menyebutkan spesifik alokasi dana yang akan dikucurkan oleh INA terhadap proyek-proyek energi baru terbarukan tersebut. Adapun alokasinya masih bergantung pada bobot prioritas proyek lain seperti transportasi.
"Tentu alokasinya itu tergantung dari bobot prioritas-nya dari kacamata infrastruktur lain. Transportasi di Indonesia menjadi prioritas karena menjadi persoalan nomor tiga," ucapnya.
Darwin menjelaskan kehadiran INA diharapkan bisa menjadi mitra utama dalam menjembatani kebutuhan pembiayaan dalam meningkatkan penggunaan EBT di Indonesia yang selama ini menjadi masalah yang krusial. Sebab, menurut Cyril, kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur, termasuk ketenagalistrikan sangat besar, dan tidak cukup hanya mengandalkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) saja.
“Kebutuhan dana pembangunan infrastruktur begitu besar dan yang jelas tidak cukup dana itu bersumber hanya dari pemerintah,” ucapnya.
Menurutnya melalui Undang-Undang Cipta Kerja membentuk INA. Cyril menjelaskan INA sebagai salah satu lembaga pelaksana investasi pemerintah diberikan beberapa kewenangan, yakni berwenang mengelola investasi, kemudian berwenang merencanakan, mengatur, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi kegiatan investasi.
Pihaknya juga berupaya untuk menjadi mitra yang strategis dalam menarik dana investor asing untuk berinvestasi di Indonesia dan juga meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Sebab, kata Cyril lembaga ini memiliki struktur organisasi yang profesional dan memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memang ahli dalam bidang keuangan, utamanya dalam hal investasi.
Ke depan, kata Cyril, terdapat beberapa sektor investasi jangka menengah dan jangka panjang yang akan dievaluasi oleh INA, mulai dari sektor infrastruktur, pelayanan kesehatan, konsumer, teknologi, infrastruktur digital, logistik, waste management, turisme, dan termasuk juga renewable energy.
“Pada tahapan awal ini, kami INA diberikan setoran modal awal sebesar Rp 15 triliun dan akan naik pada tahun depan menjadi Rp 75 triliun, ini diberikan untuk meningkatkan prinsip tata kelola dan operasionalisasi lembaga,” ucapnya.
Sementara Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menambahkan proyek energi baru terbarukan yang bisa mendapatkan dana segar INA merupakan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Adapun pembangunan PLTS akan mengejar target 23 persen porsi energi baru terbarukan pada Bauran Energi Nasional pada 2025.
"Tapi yang menjadi dorongan kita sekarang dalam jangka pendek itu sebenarnya PLTS karena dari sisi waktu kita mau mengejar target 23 persen pada 2025," ucapnya.
Namun Dadan juga tidak memungkiri terdapat beberapa hambatan dan tantangan dari sisi pembiayaan yang terjadi di Indonesia dalam mengembangkan efisiensi energi dan transisi ke energi yang lebih bersih.
“Tantangan yang pertama adalah tarif rendah atau menciptakan iklim investasi yang menarik,” ucapnya.
Tantangan lain, lanjut Dadan, terkait bunga pinjaman yang tinggi, kemudian persyaratan agunan tinggi, tidak adanya pendanaan proyek, proyek berukuran kecil dan meningkatkan biaya transaksi, serta kapasitas pengembang proyek dan lembaga keuangan masih terbatas.
“Kemudian juga persyaratan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Bukan kami tidak mendukung TKDN, tetapi ini menjadikan harga komponen lebih mahal dibandingkan impor, yang terakhir adalah hambatan perizinan dan lisensi,” ucapnya.