JAKARTA--Pakar perpajakan Universitas Indonesia, Safri Nurmantu, percaya ada banyak titik kritis penyimpangan pajak yang bisa dilakukan oknum pajak di lapangan. Dari kasus-kasus pajak terdahulu, dia yakin aksi oknum tersebut pasti sepengetahuan atasannya.
''Umumnya modus mereka bermula saat pemeriksaan pajak,'' kata Safri, Kamis (25/3). Dalam periode ini, petugas pajak mendatangi objek pajak untuk membuat surat ketetapan pajak.
Di dalam surat itu tertera berapa semestinya pajak yang harus dibayar. Ini, tuturnya, yang bisa dinegosiasikan. Bila seharusnya pajak yang dibayar Rp 100 miliar, maka negosiasi bisa menurunkan besaran pajak itu menjadi, misalnya, Rp 20 miliar. Dengan syarat, sisa Rp 80 miliar akan dibagi-bagi ke oknum pajak maupun perusahaan.
Menurunkan jumlah pajak yang harus disetor perusahaan, jelas Safri, harus merekayasa isi perut perusahaan itu. Salah satu cara lazim adalah mengubah besaran omset perusahaan. Karena pajak dikenakan pada omset, maka omset perusahaan akan diturunkan yang otomoatis mengkerutkan jumlah pajaknya.
Titik lainnya, lanjut Safri, ada di tahap keberatan pajak dan tahap banding pajak. Tapi di dua titik ini, menurutnya, tidak sepopular modus pertama. ''Terutama di banding pajak, karena sekarang sudah lebih transparan,'' ujarnya.
Siapa saja yang terlibat aksi ini? Dari pengalaman menelaah kasus pajak, Safri menilai petugas pajak di lapangan tidak akan berani main sendiri. Pasti melibatkan atasannya. ''Tidak ada yang main 'bola' sendiri. Karena dia harus lapor. Jadi satu atau dua hirarki di atasnya pasti tahu,'' katanya.
Ia juga berpendapat, kasus Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak, hanyalah gunung es dari aneka masalah di Ditjen Pajak meski sudah ada reformasi birokrasi. Menurut dia, di satu sisi reformasi birokrasi memang membuat beberapa bagian di Ditjen Pajak lebih transparan. Tapi, di sisi lain tetap ada oknum yang bermain.