JAKARTA--Kecenderungan penguatan rupiah dalam beberapa waktu terakhir ini patut diwaspadai. Pasalnya, aliran uang yang masuk ke pasar modal maupun SBI berupa //hot money// yang sewaktu-waktu dapat keluar dengan cepat.
Ekonom Cides, Umar Juoro, menilai penguatan rupiah terjadi karena dua hal. Pertama, kecenderungan dolar AS yang terus melemah dan kedua masuknya aliran dana asing ke SBI maupun pasar modal. Aliran dana yang bersifat //hot money// tersebut patut diwaspadai karena dapat menimbulkan //bubble// (gelembung ekonomi) yang dapat berdampak pada krisis.
''Kecenderungan penguatan rupiah ini harus diwaspadai, yakni terjadinya //Bubble//, karena suatu saat aliran uang tersebut bisa keluar dengan cepat,'' ujar Umar ketika dihubungi //Republika//, Senin (5/4).
Supaya efek ini tidak benar terjadi, Umar mengusulkan supaya uang tersebut langsung dialirkan ke sektor riil seperti ke sektor perumahan atau //real estate//. BUMN juga bisa melakukan IPO supaya aliran tersebut masuk ke sana.
Tindakan lain yang juga bisa dijalankan yakni dengan melakukan pembatasan kepemilikan asing di SBI. Untuk hal ini, Bank Indonesia (BI) yang mempunyai keputusan soal itu.
Menurut Umar, kecenderungan rupiah memang akan terus menguat dalam beberapa waktu ke depan. Idealnya, kata dia, rupiah akan cukup nyaman pada level Rp 9.000 rupiah. Dengan demikian dari sisi ekspor maupun impor tidak ada yang dirugikan. ''Jika menguat sampai dengan menembus Rp 8 ribu, maka itu akan merugikan eskportir,'' katanya.
Dalam beberapa waktu terakhir rupiah cenderung menguat. Dalam perdagangan di pasar uang Senin (5/4), nilai tukar rupiah naik ke Rp 9.045-Rp 9.055 per dolar AS.