EKBIS.CO, KUPANG--Pengamat ekonomi makro dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Thomas Ola Langoday mengatakan rencana Bank Indonesia untuk melakukan redenominasi rupiah tidak akan merugikan masyarakat. "Rencana Bank Indonesia untuk redenominasi rupiah belakangan menjadi wacana yang menarik. Menarik karena tidak berangkat dari konsep yang sama," Katanya di Kupang, Selasa (10/8)
Ia menyoal masyarakat yang menyamakan redenominasi dengan sanering. "Tentu kedua hal tersebut berbeda, yang jelas itu tidak akan berdampak pada kerugian masyarakat," ujarnya menambahkan.
Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, menilai mata uang rupiah sudah waktunhya diredenominasi untuk menghindari kerugian yang bisa terjadi di masa depan. Redenominasi, menurut Darmin, untuk mengantisipasi nilai transaksi yang semakin besar dan melampaui sistem penghitungan yang digunakan sekarang.
Darmin memperkirakan dalam lima hingga tujuh tahun ke depan aplikasi pembukuan ataupun alat hitung yang ada pada masyarakat tidak akan bisa menghitung transaksi yang berkembang melampaui digit pada mesin hitung. Inflasi tinggi menyebabkan daya beli mata uangnya merosot cepat sehingga perlu dipotong atau sanering. Sedangkan redenominasi hanya berhasil kalau ekonomi sedang stabil dan tumbuh serta inflasi terkendali.
Saat ini, perekonomian Indonesia sedang dalam kondisi baik dengan inflasi yang terkendali. Oleh karena itu, menurut dia, saat ini adalah momen yang tepat untuk melakukan redenominasi, karena prosesnya butuh waktu lama.
Darmin mencontohkan Turki yang berencana masuk ke Uni Eropa juga melakukan redenominasi. meski membutuhkan waktu 10 tahun. Langkah Turki akhirnya ditiru oleh Rumania. Ketika itu, Turki melakukan redenominasi sebanyak enam digit angka nol di mata uangnya.
Langoday, dosen pada Fakultas Ekonomi Unika Widya Mandiri Kupang dan Universitas Dili-Timor Leste ini, mengatakan redenominasi merujuk pada penyederhanaan nilai mata uang Rupiah, bukan pemotongan nilai mata uang rupiah atau sanering. Dengan demikian katanya, redenominasi yang sedang dalam proses penelitian dan studi lanjutan oleh Bank Indonesia adalah langkah yang positif.
"Tapi kebijakan itu perlu sosialisasi yang panjang untuk menyamakan pemahaman, terutama pada masyarakat di perdesaan terpencil dengan tingkat pendidikan yang rendah," ujarnya. "Jadi redenominasi tidak akan merugikan masyarakat karena nilai mata uang tidak mengalami penurunan, nilai mata uang tetap sama, hanya redenominasi lebih sederhana," katanya.
Ia mencontohkan, jika redenominasi diterapkan, maka pemerintah akan mengganti mata uang dengan nilai Rp1.000,- menjadi mata uang dengan nilai Rp1, mata uang dengan nilai Rp10.000 dengan Rp10. "Harga barang dan jasa juga tidak mengalami perubahan. Barang X yang dulu harganya Rp1.000, dengan adanya redenominasi maka harganya tidak dibayar dengan Rp.1.000,- tetapi dibayar dengan Rp1. Jadi dalam hal ini, masyarakat tidak dirugikan, malah masyarakat diuntungkan karena lebih sederhana dan efisien dalam berbelanja," katanya.