EKBIS.CO, JAKARTA--Kerja sama pembangunan pabrik pupuk patungan antara Indonesia dan Iran terganjal regulasi. Karena itu, pemerintah tengah mengkaji perubahan payung hukum kerja sama tersebut agar tidak menghambat proyek lain di kemudian hari.
Menteri Perindustrian, MS Hidayat mengatakan, wacana perubahan regulasi itu sedang dikaji. "PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) mau meneruskan (kerja sama), tapi terbentur itu (payung hukum). Sementara di sana (Iran) tidak bisa nunggu, butuh cepat," katanya ketika ditemui usai Halal Bil Halal Kementerian Perindustrian, Kamis (16/9). Dia tidak merinci regulasi mana yang menghambat kerja sama itu.
Sejak tiga tahun lalu, Pusri melakukan kerja sama pembangunan pabrik urea dengan Iran National Petrochemical Company of Iran (NPCI) dengan nama Hangeem Petrochemical Company. Kapasitas produksi urea pabrik patungan yang berkedudukan di Iran ini ditargetkan mencapai satu juta ton per tahun, sementara produksi amonianya sekitar 120 ribu ton per tahun.
Hidayat mengatakan, kerja sama ini harus diperjuangkan agar berhasil. Karena, kerja sama ini menguntungkan Indonesia. Terutama, karena terjaminnya pasokan gas yang menjadi bahan baku urea. Kontras dengan kondisi di dalam negeri, di mana pabrik pupuk mengalami kesulitan bahan baku. "Ini potensial karena semuanya, 100 persen produk, dibawa ke Indonesia. Murah lagi," katanya.
Karena perubahan regulasi membutuhkan waktu, Hidayat mengatakan, pihaknya menyiasati hal tersebut dengan menggandeng swasta. "Payung hukum kan urusan kita. Kita, bisa saja memutuskan swasta sebagai nominee, terus nanti Pusri bisa ikut. Jadi swastanya masuk (lebih dulu), bila masih terhambat payung hukum," ucapnya.
Ditemui terpisah, Kepala Badan Koordinasi Penamanan Modal (BKPM) Gita Wirjawan juga menuturkan hal serupa. Dia optimis, kerja sama pembangunan pabrik pupuk di Iran dapat tetap terlaksana walau terhambat regulasi. Jadinya, pemerintah akan menggunakan swasta sebagai penjamin Pusri dalam berinvestasi. "Nanti swasta akan menjamin Pusri untuk investasi disana," katanya.
Gita pun membenarkan jika terbuka peluang perubahan regulasi yang menjadi pengganjal investasi ini. Walau demikian, dia tetap memandang perlu ada payung hukum yang menaungi investasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di luar negeri. "Kita tetap butuh payung hukum agar tidak ada masalah dikemudian hari," ucapnya.