EKBIS.CO, JAKARTA -- Derasnya aliran modal asing yang masuk ke dalam negeri patut dikhawatirkan. Aliran hot money itu meski mengerek harga saham, namun nilainya tidak sesuai dengan fundamental ekonomi perusahaan.
Demikian disampaikan oleh pengamat pasar uang Farial Anwar ketika dihubungi Republika, Rabu (29/9). "Saya termasuk yang mengkhawatirkan Ini sudah mengindikasi kondisi bubble luar biasa. Harga menggelembung naik tapi tanpa disertai dengan nilai fundamental perusahaan. Sehingga rentan terhadap goncangan," ujarnya.
Menurut dia, pemerintah ataupun Bank Indonesia harus mewaspadai aksi ambil untung dari para spekulator di bursa. Mereka akan sangat mudah untuk menarik modalnya dengan cepat jika ada berita sentimen negatif. "Dampaknya terhadap nilai tukar rupiah yang bisa anjlok," ujarnya.
Jika kondisi cukup parah, maka tidak menuntuk kemungkinan dapat menimbulkan krisis ekonomi. Meski harus diakui terjadinya krisis cenderung bersifat periodik antara lima sampai dengan 10 tahun. Farial berpendapat Bank Indonesia seharusnya memiliki managemen risiko yang jelas.
Bagaimana mengukur kemampuan cadangan devisa Indoneisa jika terjadi arus balik modal yang cukup besar, sehingga rupiah tidak terdepresiasi ke jurang terdalam. "Managemen risiko itu kita tidak punya," tuturnya.
Farial menilai penerapan posisi devisa neto (PDN) atau nett open position (NOP) valuta asing tiap bank sebesar 20 persen dari adalah salah satu langkah yang bisa digunakan. "Jadi kalau modalnya Rp 100 miliar maka kepemilikan valuta asingnya Rp 20 miliar," ujarnya.
Dengan demikian perbankan akan lebih kuat jika terjadi guncangan ekonomi. Sebagaimana diketahui derasnya capital inflow juga berdampak kepada perdagangan di pasar modal. Indeks harga saham gabungan pada pembukaan perdagangan di Bursa Efek Indonesia sudah melejit hingga posisi 3.500. Hal ini membuat rupiah terus menguat hingga berada dibawah posisi Rp 9 ribu per dolar.