EKBIS.CO, JAKARTA--Sinyal pemerintah merevisi peraturan terkait kegiatan ekspor-impor sapi disambut positif oleh kalangan pengusaha. Mulai beberapa bulan terakhir, sudah banyak importir sapi yang memulai usaha pembibitan sapi.
Hal itu dikatakan Koordinator Dewan Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), Dayan Antoni, menanggapi rencana pemerintah merevisi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 7 Tahun 2008 tentang syarat dan tata cara pemasukan dan pengeluaran benih, bibit ternak, dan ternak potong.
Salah satu substansi penting dalam revisi Permentan 7/2008 adalah perusahaan importir yang diperbolehkan melakukan impor adalah mereka yang mempunyai usaha pembibitan sapi. Artinya, tanpa usaha pembibitan, importir tak boleh melakukan impor sapi bakalan.
Dayan mengatakan, terlepas jadi atau tidaknya substansi tersebut masuk ke dalam revisi Permentan 7/2008, saat ini para importir sapi sudah melakukan usaha pembibitan sapi sebagai bagian tak terlepaskan dari core business mereka. “Importir tidak lagi hanya melakukan penggemukan untuk kebutuhan sapi potong, tapi sudah memulai usaha pembibitan,” kata Dayan melalui sambungan telepon kepada Republika, Kamis (7/10).
Dia melanjutkan, usaha pembibitan dilakukan dengan dua cara, yaitu swadaya para importir dan pemanfaatan fasilitasn Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS). Apfindo, kata Dayan, mendukung misi pemerintah untuk menjalankan program-program pembenahan dan perbaikan regulasi di bidang ekspor-impor serta budidaya sapi guna mencapai swasembada pada tahun 2014.
Namun demikian, pengusaha menginginkan agar pemerintah juga bisa memberikan kepastian dan konsistensi dalam penerapan aturan-aturan yang dibuatnya.
Kepastian yang dibutuhkan pengusaha menyangkut perlindungan terhadap usaha yang selama ini mereka jalankan. Artinya, kata Dayan, pemerintah juga harus mempertimbangkan keberlanjutan usaha para importir apabila menerapkan aturan baru yang saat ini tengah dirumuskan bersama Komisi IV DPR.“Jangan gara-gara prasyarat khusus ini kemudian malah mematikan usaha impor sapi,” kata Dayan.
Adapun mengenai konsistensi, menurut Dayan, pengusaha membutuhkan perlakuan yang sama dan adil terhadap semua jenis usaha impor sapi. Jika revisi Permentan 7/2008 mensyaratkan adanya usaha pembibitan bagi importir sapi bakalan, maka ketentuan serupa seharusnya juga dikenakan terhadap importir daging sapi beku. “Kan tujuannya untuk turut mendukung peningkatan populasi sapi di dalam negeri, makanya perlakuan harus adil kepada semua importir. Jangan hanya pengusaha impor sapi bakalan saja yang kena,” papar Dayan.
Konsistensi lainnya adalah penerapan aturan terhadap semua pengusaha yang bergerak di bidang impor sapi. Dengan kata lain, kata Dayan, aturan tidak boleh sangat ketat diberlakukan kepada pengusaha tertentu, namun sangat fleksibel bila berhadapan dengan importir-importir lainnya. “Sehingga kebijakan pemerintah konsisten, tidak boleh ada pengecualian atau distorsi yang memancing gejolak baru.”
Hal lain menyangkut rencana revisi Permentan 7/2008 adalah adanya ukuran yang jelas mengenai pengertian pembibitan sapi. “Pembibitannya itu seperti apa, bibitnya dari sapi lokal atau sapi impor juga, kemudian kuota sapi bibit dari sapi bakalan yang diimpor itu berapa, semua harus jelas,” ucap Dayan.
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB), Lucky Abdullah, berpendapat, pembenahan aturan ekspor-impor sapi merupakan langkah awal guna melepaskan ketergantungan pemerintah terhadap impor sapi. Permentan 7/2008 yang ada saat ini, lanjut Lucky, terbukti memberikan celah kepada para pengusaha untuk melakukan praktik-praktik nakal demi mengejar keuntungan.
Praktik nakal yang dimaksudkan Lucky berupa memasukkan sapi-sapi betina tua tak produktif yang hanya bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi potong. “Mereka sengaja mengimpor sapi-sapi afkir yang hanya bisa dipotong, sehingga upaya meningkatkan populasi sapi melalui pembibitan tidak bisa jalan,” kata Lucky.
Padahal, Lucky melanjutkan, praktik impor sapi betina tak produktif telah menggerus usaha peternakan sapi lokal. Ibarat limbah, sapi betina tak produktif tentu akan dijual dengan harga lebih murah dibandingkan sapi betina produktif. Akibatnya, harga jual daging sapi betina tak produktif di pasaran pun bisa lebih rendah dibandingkan harga daging sapi lokal. “Karena kan hanya langsung potong, tidak ada biaya penggemukan terlebih dahulu,” tandas Lucky.