EKBIS.CO, JAKARTA-–Penguatan nilai tukar regional yang terus terjadi terhadap dolar Amerika, meningkatkan nominal utang regional Indonesia. Utang dari Jepang, misalnya. Meski demikian Bank Indonesia (BI) menyatakan peningkatan itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Sementara porsi asing di sertifikat BI (SBI) juga masih terus bertambah.
"Apresiasi Yen telah berdampak pada peningkatan posisi pinjaman luar negeri Indonesia," kata Kepala Biro Humas BI Difi A Johansyah, Selasa (12/10).
Tapi dia mengatakan hal ini tak perlu dikhawatirkan. Dalihnya, porsi utang luar negeri Indonesia yang berasal dari Jepang hanya 30 persen. "(Porsi pinjaman dari Jepang) seolah-olah naik, karena dihitung dalam valuta dolar Amerika," tambah Difi.
Hal serupa juga berlaku untuk pinjaman swasta terhadap Yen Jepang. Karena, kata dia, rata-rata pinjaman luar negeri swasta yang berbentuk Yen hanya sekitar 7,5 persen. Hingga akhir September 2010, ujar Difi, penguatan rupiah terhadap dolar Amerika sudah mencapai level 5,01 persen.
Tapi lagi-lagi BI berkilah, penguatan ini masih lebih rendah dari penguatan mata uang regional. Difi menyebutkan Baht Thailand sudah menguat 10,25 persen, sementara Ringgit Malaysia menguat 9,04 persen, dolar Singapura menguat 7,02 persen, dan Peso Filipina menguat 6,04 persen.
Aliran modal asing juga tetap terus masuk ke Indonesia, termasuk ke instrumen moneter, SBI. Posisi SBI per 8 Oktober 2010 adalah Rp 251,78 triliun. Porsi asing di dalamnya terus bertambah, dan per tanggal tersebut mencapai Rp 78 triliun atau setara Rp 31 persen.
Sebelumnya Deputi Gubernur BI menyebutkan sampai akhir September 2010, porsi asing di SBI hanya 25 persen, yaitu di angka Rp 64 triliun. Secara porsi, dia menyebutkan dana asing di SBI lebih rendah dari dana asing di instrumen surat utang negara (SUN). "(Porsi asing) di SUN Rp 182 triiun, setara dengan 30 persen SUN," ujar dia, pekan lalu.
Derasnya aliran masuk modal asing merupakan salah satu fenomena yang dituding sebagai penyebab cepatnya penguatan rupiah terhadap dolar Amerika. Pemerintah dan BI pun dinilai tak cepat mengantisipasi dampak penguatan ini, di tengah perang kurs antara Amerika dan Cina. Beberapa negara telah melakukan langkah antisipasi, termasuk masalah aliran masuk modal asing.