EKBIS.CO, JAKARTA--Himpunan Pengusaha Kosgoro (HPK) 1957 meminta perdagangan beras impor diaudit. Karena, menurut HPK 1957, pola kerja pengimporan beras lebih berpihak kepada para pedagang ketimbang masyarakat.
Sekjen HPK 1957, Junaidi Elvis, mengatakan indikasi tersebut diperkuat dengan susunan pengurus Tim Stabilisasi Harga Beras yang beranggotakan pedagang. Menurut dia, mereka tidak melihat kinerja Bulog yang memberi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Mereka juga meminta tim dibubarkan, dan dimintai pertanggung jawaban atas hasil kongkret kerja mereka. "Apalagi sejauh ini proses impor beras sampai 800 ribu ton dari Vietnam dan Thailand cenderung tertutup," katanya dalam keterangan pers yang diterima Republika, Selasa (7/12).
HPK 1957 juga menggaris bawahi kinerja Bulog dalam melaksanakan Operasi Pasar (OP) untuk menekan harga beras karena rawan penyimpangan. Bulog, menurut Elvis, cenderung memilih jalan yang mudah untuk mencari keuntungan. "Untuk impor misalnya, menurut keterangan, Bulog mendapatkan harga hanya sekitar Rp 5.000 per kilogram.
Bekerja sama dengan Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras, Food Station Cipinang, serta Asosiasi Pedagang beras yang tergabung dalam Tim Stabilisasi Harga Beras, pemerintah kemudian menetapkan harga beras OP ke konsumen Rp 6.500 per kilogram," ucapnya.
Elvis meneruksan, terjadi kebingungan antara perbedaan data dari Bulog dan Kementerian Pertanian. Hal ini mengindikasikan setiap kebijakan yang diputuskan pemerintah cenderung reaktif dan tidak mendasar. Dia pun mengkritik keputusan sidang kabinet dalam mengantisipasi krisis perberasan yang mengizinkan Bulog mengimpor 500 ribu-1 juta ton beras.
"Menurut saya, kebijakan seperti ini cenderung reaktif, tidak mendasar bahkan terkesan pemerintah cuma ambil jalan pintas. Hasilnya pun harga tetap lebih tinggi dari sebelum Bulan Puasa dan Lebaran," tuturnya.