Ahad 20 Feb 2011 23:07 WIB

Aturan Bea Masuk Impor Film Dinilai Terburu-buru

Rep: fitria andayani/ Red: Krisman Purwoko

EKBIS.CO, fJAKARTA--Keputusan pemerintah untuk melaksanakan revisi aturan bea masuk atas hak distribusi impor film dianggap terburu-buru. Pemerintah seharusnya melakukan dengar pendapat lebih dahulu dengan  para pelaku industri sebelum menjalankan aturan tersebut.

Pengamat perpajakan, Darussalam menyatakan, pemerintah seharusnya bijak dalam menetapkan kebijakan yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas. “Harus dipikirkan apakah kebijakan tersebut akan berdampak signifikan terhadap masyarakat atau tidak,” tuturnya, Ahad (20/2). Sehingga tidak terjadi silang pendapat layaknya perseteruan pemerintah dengan asosiasi produser Amerika saat ini.

Lagipula lanjutnya, pengenaan bea masuk atas hak distribusi film melanggar Internasional WTO Valuation Agreement. Peraturan ini disusun untuk membangun sebuah sistem internasional untuk menetapkan nilai pabean barang impor.

Tujuan utama WTO Valuation Aggrement untuk menciptakan sistem penetapan nilai pabean yang netral, adil, dan seragam. Sehingga tidak memberikan ruang bagi penggunaan nilai pabean yang sembarangan atau fiktif.

Darussalam menyatakan, seharusnya pajak bea masuk tersebut dikenakan atas media pembawanya bukan nilai hak distribusi filmnya. Sementara pihak Bea Cukai menyatakan,  Tambahan bea masuk bermula ketika saat audit teknis ditemukan adanya elemen yang tidak dimasukan dalam struktur tarif nilai kepabeanan.

Elemen tersebut adalah royalti dan proceed yang merupakan salah satu bentuk perjanjian dagang yang akan mempengaruhi harga. Selama ini para pengusaha film tidak memberitahukan itu. Setelah ditemukan, lalu nilainya ditambahkan dalam komponen pajak.

Terlepas dari benar atau tidaknya revisi aturan bea masuk yang dilakukan pemerintah itu, pengamat perpajakan Roni Bako menyatakan, pemerintah harus memperhatikan dampak nyata dari keputusan tersebut ke depan. Menurutnya, industri film bukan hanya soal transaksi hak film.

Namun lebih dari itu, industri ini menyangkut hajat hidup banyak orang. “Harus diperhatikan berapa banyak bioskop yang tutup gara-gara kebijakan ini. Berapa banyak karyawan yang akan menganggur,” tuturnya. Selain itu, hak asasi manusia tercederai, karena masyarakat dibatasi haknya untuk mendapatkan hiburan.  “Oleh karena itu harus ada dialog lebih lanjut antara pemerintah dengan industri tentang aturan ini, sehingga menemukan soalusi yang paling baik,” katanya.

Plt Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan Bambang Brodjonegoro sebelumnya mengatakan pihaknya masih mengkaji kembali aturan tersebut. "Masih sedang dibahas di internal Kementrian Keuangan," ujarnya. Sementara asosiasi produser Amerika, terang-terangan melakukan protes dan berniat menghentikan seluruh peredaran film Hollywood di tanah air. 

Kecaman atas keputusan ini mengalir di tengah masyarakat dan pelaku industri film. Produser dan sutradara film Indonesia, Mira Lesmana menyatakan, hilangnya film asing di bioskop Indonesia tidak akan menguntungkan perfiman Indonesia. “Indonesia masih sangat dibutuhkan film-film asing yg bermutu untuk ditonton dan dipelajari baik oleh pembuat maupun penonton film di Indonesia,” ujarnya dalam akun twitternya.

Selain itu lanjutnya, pajak film tidak hanya dibebankan kepada film asing, film Indonesia juga menderita karena tekanan pajak yg berat. Hal sama juga diungkapkan oleh sineas Indonesia, Joko Anwar. “Pemasukan dari tiket dipotong pajak tontonan, besarnya beda-beda tiap daerah. Ada yang 30 persen kalau tidak salah,” tuturnya dalam juga dalam akun twitternya.

Selain itu, besaran keuntungan yang harusnya untuk produser hanya diberikan 50 persen, “Itu masih dipotong 'Pajak Royalti' 10 persen. Di akhir tahun kalau untung kena pajak penghasilan,” tuturnya. Melihat keadaan ini, Mira menuntut pemerintah membebaskan perfilman dari pajak yang berlebihan. “Dan salurkan pajak film ke pendidikan film di Indonesia,” tegasnya.

Head of Marketing Blistz Megaplex, Dian Sunardi menyatakan, Blitz sebagai salah satu ekshibitor atau pemasang film pasti akan terkena dalam keputusan tersebut. “Jika tidak ada variasi film, otomatis jumlah film jug akan berkurang. Ini tidak hanya berdampak pada Blitz namun  juga bagi industri film secara keseluruhan,” tuturnya.

Sementara itu, pihak 21 Cineplex dan XXI masih akan menunggu perkembangan selanjutnya tentang penetapan bea masuk atas hak distribusi film impor oleh pemerintah. Juru bicara 21 Cineplex dan XXI, Noorca Massardi menolah berkomentar lebih lanjut hingga situasi dan kondisi terang benderang.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement