EKBIS.CO, JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, mengusulkan agar perekrutan dewan komisioner dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meniru seperti yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK), dimana setiap pihak memiliki jumlah wakil yang sama. Hal itu diungkapkannya dalam rapat dengar pendapat dengan Panja OJK di Gedung DPR, Rabu (2/3).
Ia menuturkan jika dianalisis dari hukum tata negara, pihak yang berkepentingan terhadap OJK adalah pemerintah sebagai otoritas fiskal, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter dan DPR sebagai lembaga yang mewakili rakyat. "Jadi kenapa tidak ikut pola perekrutan MK masing-masing tiga orang dari yang diajukan presiden, DPR, dan BI, dengan demikian tidak ada yang mendominasi dan mereka betul-betul independen," ujar Yusril.
Pasalnya, tambah dia, presiden pun tidak selalu mengangkat calon dari orang pemerintahan. Ia mencontohkan hakim konstitusi Hamdan Zoelva yang diusung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, padahal Hamdan berasal dari Partai Bulan Bintang. Mengenai pengertian independensi sendiri, Yusril menegaskan independensi berarti tidak tergantung pada yang lain terutama pemerintah, karena itu tidak bisa pola rekrutmen didominasi presiden.
"Namun sejauh independennya OJK bisa sama dengan BI, tapi tidak berarti kedudukannya setara dengan BI, karena OJK itu hanya melaksanakan sebagian dari tugas BI dalam hal pengawasan," paparnya.
Namun demikian, lanjutnya, terdapat satu hal yang membuatnya khawatir dalam RUU OJK yaitu mengenai kewenangan OJK ketika melakukan penyidikan dan penyelidikan yang termuat dalam pasal 41. "Dalam pasal itu tidak disebut mengacu pada KUHAP, tapi diatur kewenangan untuk melakukan penggeladahan, penyitaan, khawatirnya kalau diberikan kewenangan itu OJK ini akan lebih dahsyat dari KPK," tuutur Yusril.
Pasalnya, KPK tidak mempunyai kewenangan membuat regulasi, hanya implementasi saja. Sedangkan OJK memiliki kewenangan membuat regulasi, mengawasi, dan menindak. Biasanya dalam penyusunan UU, kata Yusril, terdapat klausul 'dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya tunduk pada hukum acara yang berlaku dalam KUHAP kecuali diatur lain dalam UU.
Sementara dalam RUU OJK, lanjutnya, tidak membahas hukum acara secara mendetail dan tidak menjadikan KUHAP sebagai sandaran. "Orang bisa menafisrkan semaunya, padahal prinsip dalam hukum pidana harus strict karena menyangkut HAM. Jadi itu harus dielaborasi lebih dalam, jangan sampai menimbulkan masalah baru," imbuhnya.
Di sisi lain, tambahnya, dengan RUU OJK yang telah melewati batas waktu dan seharusnya rampung pada Desember 2010, kewenangan BI untuk mengawasi pun terpaksa harus berlaku. Ia mengakui bisa memahami hal itu karena kalau tidak akan terjadi kevakuman pengawasan perbankan. Namun ia mengingatkan jika ada pihak yang tak puas dengan kinerja BI, pihak tersebut bisa membawa masalah tersebut ke pengadilan.
"OJK harus ada 31 Desember 2010 jadi kewenangan pengawasan oleh BI sebenarnya hanya sampai Desember, tapi ternyata tidak terbentuk. Tapi ternyata kalau ada orang yang keberatan dengan kewenangan BI bisa membawa ini ke pengadilan," kata Yusril.
Sebenarnya, ujar Yusril, sebelum batas waktu tersebut terlewati Menteri Hukum dan HAM dan Sekretaris Negara bisa mengajukan memorandum kepada presiden untuk mengingatkan bahwa ada ketentuan yang akan melewati batas waktu dan belum dapat diselesaikan. Presiden pun dapat mengeluarkan Perpu untuk mengamandemen UU, namun ternyata hal itu tidak dilakukan. "Kalau sekarang keluarkan perpu juga sudah lewat," tandasnya.