EKBIS.CO, JAKARTA - Pelaku usaha di dalam negeri, terutama sektor tekstil mengeluhkan proses mendapatkan sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI). Pasalnya biaya sertifikasi itu dinilai memberatkan produsen Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).
"Pengurusan sertifikasi SNI memang membutuhkan biaya, namun diperlukan untuk audit oleh Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) hingga biaya perpanjangan sertifikasi," kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat di Jakarta, Senin (2/4).
Menurut dia, tiap tahapan pengurusan sertifikat tersebut, pelaku industri harus mengeluarkan biaya. "Untuk memperoleh sertifikasi produk bertanda SNI pada produk tekstil, perusahaan perlu melakukan serangkaian kegiatan mulai dari pendaftaran sampai audit serta menaati ketentuan yang berlaku. Dan semua biaya sertifikasi ditanggung oleh perusahaan," paparnya.
Pada Balai Besar Tekstil (BBT), biaya pengurusan SNI mencapai Rp14,2 juta. Biaya ini mulai untuk pendaftaran Rp100.000, assesment Rp500.000, audit lapangan Rp7 juta, biaya sertifikat Rp100.000, biaya tim teknis sebesar Rp4 juta.
Sedangkan biaya sertifikasi mencapai Rp1,5 juta, dan pengambilan contoh produk Rp1 juta. Masih ada lagi biaya pengujian yang tergantung kepada jumlah contoh akan diambil dan dilakukan setiap enam bulan sekali.
Setelah sertifikasi SNI, perusahaan yang memiliki sertifikat harus mengeluarkan biaya rutin berupa pengawasan Sistem Manajemen Mutu sebesar Rp5,5 juta per tahun.
Selain itu, pelaku usaha harus menambah pengeluaran dengan biaya perpanjangan masa sertifikat sebesar Rp8,7 juta. Di tengah serbuan tekstil impor dari China, pelaku usaha tekstil dan produk tekstil (TPT) dikenakan biaya yang besar untuk mendapatkan SNI. Prosedur itu akan menurunkan daya saing industri dalam negeri.