EKBIS.CO, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang (UU) No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian saat ini tengah memasuki tahap daftar inventarisasi masalah di DPR. Ada beberapa catatan kecil dari Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) dalam pembahasan draft UU tersebut, diantaranya dalam hal bentuk badan hukum, tenaga ahli, pialang dan agen asuransi, dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan reasuransi.
Sekretaris Jenderal MES, Syakir Sula, mengatakan ada tiga bentuk badan hukum yang umum dikenal dalam dunia asuransi, yaitu mutual, koperasi dan perseroan terbatas. Mutual, koperasi dan takaful (asuransi syariah) adalah bentuk badan hukum asuransi yang dikelompokkan dalam satu jenis dan memiliki asosiasi internasional yang sama. Kegagalan asuransi berbentuk mutual dan koperasi di Indonesia dinilainya tidak dapat menjadi argumentasi untuk menghilangkan bentuk tersebut sebagai bentuk badan hukum asuransi dalam UU.
Menurutnya penetapan perseroan terbatas sebagai satu-satunya bentuk badan hukum asuransi adalah bentuk lain dari pengukuhan bentuk kapitalisme dan penguburan bentuk koperasi yang diakui UU (UU Koperasi Tahun 2012, UU Lembaga Keuangan Mikro Tahun 2012, bahkan dalam UUD 1945). "Diusulkan agar badan hukum asuransi pada Bab III pasal 6 tetap berbentuk mutual, koperasi dan perseroan terbatas," ujarnya, Kamis (28/2).
Syakir berujar di industri asuransi Indonesia, dikenal dengan gelar keahlian Ahli Asuransi Kerugian/Umum (AAIK), Ahli Asuransi Jiwa (AAIJ), Ahli Asuransi Syariah (FIIS) dan sebagainya. Tenaga Ahli Asuransi Syariah sudah pasti adalah ahli asuransi konvensional. Pasalnya untuk mengambil keahlian asuransi syariah harus terlebih dulu menjadi ahli asuransi konvensional.
Untuk itu, MES mengusulkan agar tenaga ahli yang disebutkan dalam pasal 8 dan 14 menyebutkan secara jelas bahwa yang dimaksud adalah tenaga ahli asuransi konvensional untuk asuransi dan reasuransi konvensional serta tenaga ahli asuransi syariah untuk asuransi dan reasuransi syariah yang mendapat sertifiikasi dari asosiasi masing-masing.
Dia mengimbau pialang dan reasuransi yang akan menjual asuransi dan reasuransi syariah agar memiliki pengetahuan dan pemahaman syariah yang benar. "Mereka wajib mendapat sertifikasi dari Asosiasi Asuransi Syariah," kata Syakir.
Dalam pasal 32 UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa DPS bertugas memberi nasihat dan saran kepada direksi. DPS juga mengawasi kegiatan asuransi agar sesuai dengan prinsip syariah.
Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib memiliki DPS. DPS yang dimaksud terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). "Kami mengusulkan agar DPS dapat ditambahkan dalam satu pasal pada Bab IX," katanya.
Selain mengenai DPS, MES juga mengusulkan agar memasukkan satu pasal lagi tentang reasuransi. Hal tersebut berguna sebagai payung hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengeluarkan keputusan tentang pentingnya reasuransi diperbesar.
"Ini untuk menahan flow of funds (arus dana) keluar negeri yang menjadi penyumbang terbesar defisit pembayaran," ucap Syakir. Pihaknya mengusulkan agar dibentuk reasuransi konvensional dengan modal dasar Rp 4 triliun hingga Rp 5 triliun dan reasuransi syariah dengan modal dasar Rp 1 triliun hingga Rp 2 triliun.