EKBIS.CO, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR, Deddy Gumelar mendesak pemerintah mengecek dugaan penjualan Blitz Megaplex ke perusahaan Korea Selatan, CJ CGV, karena bioskop merupakan sektor usaha yang belum boleh dimasuki modal asing sesuai Daftar Negatif Investasi (DNI).
"Harus ada sanksi tegas, karena bioskop masih masuk dalam DNI," ujar Dedi Gumelar yang biasa dipanggil Miing di Jakarta, Ahad (7/4).
Miing mengatakan, Blitz Megaplex disinyalir telah dijual ke konglomerat hiburan asal Korea Selatan, CJ CGV. terlihat dengan adanya perombakan direksi Blitz, yang saat ini ditempati mayoritas ekspatriat asal Korea Selatan.
"Bahkan CEO Blitz yang baru adalah mantan Chief Representative di CJ CGV Greater China. Selain itu, sejak akhir 2012, sudah masuk sembilan orang ke manajemen Blitz," ucapnya.
Politisi itu mengatakan, pemerintah tidak pernah mencabut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2010, sehingga belum mengeluarkan bioskop dari DNI.
"Berarti, pemerintah tidak melepas gedung bioskop, yang merupakan rumah budaya, kepada investor asing. Kalau benar Blitz dijual kepada investor Korea Selatan, itu jelas pelanggaran. Mestinya pembelian tersebut harus seizin Mendag, BKPM dan Kemenparekraf," kata Miing menegaskan.
Menurut Miing, dari awal DPR sudah memberikan peringatan kepada Kemenparekraf, BKPM, dan lembaga terkait agar tidak mengeluarkan izin bagi masuknya modal asing di wilayah bioskop dan kebudayaan.
Bioskop merupakan rumah budaya dan sektor yang unik, karena itu perlakuannya pun berbeda dengan sektor lainnya, dan tidak boleh dimasuki pemodal asing.
Jika bioskop diibaratkan sebuah rumah, kata Miing, lalu rumah tersebut disewakan atau dijual kepada pihak asing, maka otomatis pemilik rumah yang lama tersebut tidak bisa lagi masuk rumah tersebut.
"Artinya, jika Blitz telah menjual bioskopnya kepada CJ CGV, maka film Korea dipastikan menguasai pangsa pasar Indonesia dan film Indonesia akan tersisihkan di rumahnya sendiri. Bagaimana menolong Hanung Bramantyo dan sineas lainnya?" kata Miing seraya bertanya.
Efeknya bukan hanya mematikan film Indonesia. Yang paling berbahaya adalah efek film tersebut yang bisa mendoktrin remaja negeri ini meniru budaya negeri gingseng tersebut dan meninggalkan budaya Indonesia.
Saat ini, fenomena tarian gangnam style dan film Korea menimbulkan tren dan budaya baru bagi remaja Indonesia. "Sedihnya, para remaja kita lebih bangga mengekspresikan budaya Korea daripada budaya sendiri," kata Miing.
Ia menambahkan, remaja Indonesia terlarut dalam budaya gangnam style. Dan sadar atau tidak, mereka akhirnya menyukai berbagai produk Korea. "Itulah tujuan utama masuknya Korea di jalur bioskop, meski secara bisnis tidak menguntungkan. Diawali dari strategi kebudayaan," ungkapnya.
Miing menegaskan, meskipun dengan membeli Blitz tidak menuai untung signifikan, pembelian itu bukan tujuan utama. Tujuannya adalah invasi budaya, sehingga berbagai produk, budaya, dan segala hal yang berbau Korea laku di negeri ini.
"Sebenarnya berapa sih marjin keuntungan Korea sehingga membeli Blitz? Tidak seberapa untungnya. Tapi ini menguntungkan bagi Korea dan merugikan Indonesia. Korea tahu Indonesia tidak punya strategi kebudayaan, sehingga Korea masuk," katanya menegaskan.