EKBIS.CO, JAKARTA -- Center for Strategic and International Studies (CSIS) menilai rupiah memang seharusnya bergerak ke arah depresiasi. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Saat ini berada di posisi 9.811 per dolar AS, melemah satu poin dari posisi sebelumya.
"Rupiah seharusnya bergerak ke arah depresiasi karena di negara lain pun terjadi depresiasi," ujar Pengamat CSIS, Yose Rizal Damuri, ketika ditemui di acara diskusi 'Hadi Soesastro Policy Forum: Does East Asia Have a Financial Safety Net?' di Jakarta, Kamis (30/5).
Menurutnya, depresiasi tak harus dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Jika rupiah tak mengikuti, tingkat kompetisi barang-barang Indonesia di pasar internasional menjadi lebih rendah. "Kalau rupiah mahal sementara yang lain murah, barang-barang Indonesia di pasar internasional tak kompetitif," ujar dia.
Sementara itu, ia menilai pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS disebabkan oleh tekan dari capital outflow. Selama dua tahun terakhir, Indonesia mengalami defisit neraca transaksi berjalan. Hal tersebut dikompensasi dengan capital inflow yang cukup banyak.
Capital inflow berasal dari foreign direct investment (FDI) dan portfolio investment. "FDI tak masalah karena untuk jangka panjang. Masalahnya ada di portfolio investment," ujar Yose. Yose mengatakan jika ada gangguan, portfolio investment akan pergi dengan cepat.
Kepastian ekonomi di beberapa negara juga menarik portfolio investment di Indonesia. Salah satunya kepastian ekonomi di Jepang. Abenomics, kebijakan ekonomi yang diinisiasi oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, menyebabkan pertumbuhan ekonomi Jepang bergerak ke arah yang positif. "Investasi yang tadinya ditanamkan di Indonesia kembali ke Jepang," ujar dia.
Namun, pelemahan rupiah ini menurutnya tidak fundamental dan tidak mencerminkan kekuatan ekonomi Indonesia. Ketidakpastian kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) juga dianggap berperan dalam pelemahan rupiah. Tetapi, peranannya tidak langsung. Tekanan terhadap fiskal akan semakin kuat jika kebijakan tidak segera diambil.
"Pemerintah punya ruang yang cukup untuk menggunakan kebijakan fiskal. Lebih fundamental lagi, spending infrastruktur sangat rendah. Ini yang menyebabkan daya saing Indonesia semakin rendah," ujar dia.