EKBIS.CO, Perjuangan Tatiek Kancaniati tidak mudah. Hanya, minatnya yang besar untuk menjadi wirausaha menjadikan Tatiek seperti sekarang.
Sejak duduk di bangku kuliah, Tatiek sempat menjajal berbagai macam usaha. Dari menjual jilbab, sepatu, susu perah, hingga membuat nata de coco.
"Dulu dari Subuh sudah harus nongkrong di kandang sapi buat nunggu perah sapi,"kenangnya. Susu tersebut dijajakan ke teman-teman kuliah dengan untung sekitar Rp 2000.
Terlalu lelah dengan usaha susu, Tatiek pun berjualan sepatu. Per bulan, dia mengambil sepatu dari agen di Jonggol kemudian dipasarkan di kampus.
Hanya, usaha sepatu juga lebih sering gagal. Banyak sepatu Tatiek yang tidak sesuai dengan pesanan. "Ada yang sepatunya lain sebelah, salah nomor, pokoknya banyak deh,"jelasnya.
Dia pun banting setir menjadi pengusaha Nata de Coco. Tidak seperti bisnis sebelumnya, usaha Tatiek kali ini cukup maju. Dia memiliki pegawai dan gerobak sendiri.
Hanya, rezeki Tatiek bukan di bisnis olahan ini. Di tengah jalan, Tatiek ditipu oleh pegawai yang membawa semua hasil dagangannya. "Tukangnya kabur ninggalin gerobak di jalan,"jelasnya.
Jeda dari berbisnis, Tatiek perlahan melihat kembali 'kampungnya' yang penuh dengan usaha. Meski kecil, enam Rukun Warga dengan ragam bisnis yang berbeda tersebut mampu menghidupi setiap keluarga.
Dia pun memutar otak agar bisa mengembangkan kampungnya tersebut sekaligus mendapatkan peluang bisnis. Dengan saran dari beberapa kawan, maka terciptalah Kampung Wisata Bisnis Tegal Waru pada 2009.
Tatiek berkisah, ujian ketika awal mengelola wisata bisnis cukup berat. Dia mengaku sempat berhadapan dengan oknum aparat yang memeras Yayasan Kuntum yang mengelola kampung tersebut. "Dengan gaya preman, jegal kegiatan dengan menyebarkan isu kalau yayasan saya tanpa izin,"ujarnya.
Tak hanya itu, Tatiek pun harus menghabiskan energi untuk menghadapi Corporate Social Responsibility (CSR) suatu bank pelat merah besar nasional. Pada awalnya, kisah Tatiek, CSR tersebut menjanjikan bakal memberikan bantuan besar untuk setiap unit usaha di Tegal Waru.
Dengan tim sendiri, mereka sempat turun untuk melakukan survei ke semua unit usaha. CSR itu bahkan sempat menyosialisasikan bantuan tersebut secara massal di Balai Desa kepada semua warga.
Hanya, setelah mengumpulkan data, CSR tersebut tak memperlihatkan batang hidungnya. "Ternyata mereka cuma ingin jiplak konsep saja karena tak sanggup buat proposal bisnis. Sudah lebih dari tiga lembaga seperti itu,"jelasnya.
Tak hanya itu, seringkali para pengrajin mengeluh tentang kesulitan modal. Banyak pengusaha yang hendak mengembangkan usaha akan tetapi tak memiliki akses pinjaman.
Tatiek juga harus memikirkan cara untuk mempertahankan mereka dari rayuan para 'bankir' keliling. Dengan gaya yang necis, para bankir bakal menjerat warga dengan kemudahan pinjaman tetapi bunga yang tinggi.
Hanya, Tatiek terus melangkah. Dia pun mengungkapkan, semua ujian itu hanya kerikil di jalan. Satu yang membuatnya bahagia.
Banyak warga yang dulu statusnya masih mustahik atau golongan yang berhak menerima zakat menjadi muzakki atau golongan yang menyalurkan zakat. "Dengan pendekatan wisata bisnis bisa mengangkat potensi masyarakat. Mereka juga terasah untuk membagi ilmu dan sharing pengalaman dengan banyak orang,"ujarnya.