EKBIS.CO, JAKARTA -- Buruknya prospek bisnis PT Industri Soda Indonesia (ISI) membuat pemerintah memutuskan untuk melikuidasi perusahaan tersebut. Sayangnya sudah hampir lima tahun proses likuidasi PT ISI belum juga selesai.
Staf Ahli Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Bidang Investasi dan Sinergi Herman Hidayat mengungkapkan lamanya proses likuidasi PT ISI terjadi karena sulitnya menjual aset-aset perusahaan. "Menjual tanahnya tidak mudah sehingga sampai sekarang prosesnya tidak selesai," kata Herman kepada ROL, Selasa (2/7).
Pemerintah memutuskan melakukan likuidasi atas perusahaan soda milik pemerintah tersebut pada 2007. Kinerja terakhir perusahaan tersebut menunjukkan rugi bersih hingga Rp 20,6 miliar. Karena prospek bisnis yang suram tersebut pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) untuk melikuidasi PT ISI.
Wakil Menteri BUMN Mahmuddin Yasin mengatakan penjualan aset milik PT ISI harus dilakukan sesuai dengan nilai jual objek pajak (NJOP). "Penjualannya membutuhkan waktu," kata Yasin saat ditemui sebelumnya.
Sejauh ini ia mengatakan baru PT ISI saja yang sudah resmi masuk ke proses likuidasi. Namun Yasin mengakui ada sekitar 30 perusahaan BUMN yang 'sakit'. Untuk itu pemerintah akan mengawasi keseluruh BUMN tersebut dan mengambil tindakan jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki prospek.
Likuidasi menjadi pilihan terakhir bagi pemerintah untuk menindak perusahaan negara yang tidak memiliki masa depan. Pilihan lain yang akan diambil adalah dengan memasukkan perusahaan sakit tersebut ke perusahaan pemerintah lain. Hal ini telah dilakukan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengakuisisi perusahaan pelayaran PT Bahtera Adi Guna (BAG). BAG dimanfaatkan PLN untuk mengangkut batu bara ke pembangkit-pembangkit listrik PLN.
Untuk akuisisi perusahaan sakit pun harus dilakukan dengan beberapa ketentuan. Terutama jika perusahaan itu ditempelkan ke perusahaan negara yang sudah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). BAG sebelumnya akan diakuisisi oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Namun karena pemegang saham tidak menyetujui, akuisisi tersebut gagal dilakukan.
Dari total 142 perusahaan yang dimiliki pemerintah, hanya sebagian kecil yang berprestasi. Dari jumlah tersebut hanya PT Pertamina dan perbankan BUMN yang memberikan dividen terbesar kepada negara. "Sekitar 70 persen dividen berasal dari bank BUMN dan Pertamina," kata Yasin. Sisanya berasal dari perusahaan BUMN lain.