EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengakui target penerimaan bea dan cukai sebesar Rp 168,2 triliun yang ditetapkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014 sangat berat untuk dicapai. Namun, Dirjen Bea dan Cukai Agung Kuswandono menyebut DJBC akan berjuang keras demi target yang ada.
"Karena itu sudah perintah, saya menjawab Insya Allah tercapai," ujar Agung seusai konferensi pers terkait asistensi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di Kantor Pusat DJBC, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (19/8).
Target penerimaan perpajakan dalam RAPBN 2014 sebesar Rp 1.310,2 triliun. Terdiri dari penerimaan pajak Rp 1.142 triliun dan penerimaan bea dan cukai Rp 168,2 triliun. Sedangkan penerimaan perpajakan dalam APBNP 2013 ditetapkan Rp 1.148,4 triliun. Rinciannya penerimaan pajak Rp 995,2 triliun dan penerimaan bea dan cukai Rp 153,1 triliun.
Agung menyebut tantangan penerimaan bea dan cukai terkait erat dengan kondisi ekonomi global. Pelemahan ekonomi global, tentu akan berdampak kepada semua aspek bea dan cukai. "Jadi, kalau variabel ekonomi melemah, mungkin ekspornya melemah, impornya melemah. Berarti bea masuk turun, juga bea keluarnya turun. Tapi, kita hanya berjuang sekuat tenaga untuk mencapai target," paparnya.
Terkait extra effort yang akan dilakukan oleh DJBC, Agung mengatakan potensi kebocoran misalnya penyelundupan akan coba ditutup. Selain itu, DJBC juga mengupayakan untuk meminimalisir tempat-tempat yang mungkin selama ini menjadi pintu masuk penyelundup. Kedua, penajaman proses penelitian dan klasifikasi kepabeanan. "Sehingga yang diberitahukan di bea dan cukai klasifikasinya benar. Akhirnya tarif bea masuknya juga benar, nilai pabeannya juga benar. Itu Insya Allah membuat penerimaan kita lebih baik," ujar Agung.
Sedangkan untuk kenaikan tarif cukai, misalnya cukai hasil tembakau (rokok), hal tersebut tidak termasuk ke dalam wewenang DJBC. Terkait penerimaan bea keluar, DJBC masih mengandalkan dari minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dengan presentase hingga 91,7 persen.
Agung menjelaskan, tren harga internasional CPO sampai saat ini belum menunjukkan perbaikan. "Sudah harganya turun, ekspornya terhambat ya penerimaan turun. Tentunya bea keluarnya akan turun," kata Agung.