EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) akan mengkaji ulang harga penjualan gula kristal putih. Kemarau basah yang baru berlalu menyebabkan rendeman menurun. Alhasil, keluhan mengenai rendahnya harga gula pun dilayangkan oleh petani. "Kami sedang memikirkan cara supaya petani merasa nyaman dengan harga gula," ujar Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan, Rabu (28/8).
Namun ia optimistis pasokan gula dalam negeri cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Sedangkan untuk industri makanan dan minuman, pemerintah masih mengandalkan gula rafinasi produk impor.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen mengatakan harga gula kristal putih produksi petani kian rendah. Kondisi ini sudah dialami selama enam bulan terakhir.
Paska Lebaran, harga gula di tingkat petani ditawar hingga Rp 9200 per kilogram (kg). Padahal di awal musim giling Mei lalu, gula dihargai Rp 10.450 per kg. "Sejak awal Juni harganya terus turun," kata Soemitro kepada ROL, Rabu (28/8).
Kualitas gula pun tak begitu baik. Akibat cuaca basah, rendeman gula hanya mencapai 7 persen. Padahal kualitas rendeman yang dicari petani berada di kisaran 8 persen. Selain itu APTRI masih menemukan banyaknya gula rafinasi yang beredar di Cianjur, Bojonegoro dan Cianjur.
Gula yang seharusnya untuk bahan baku industri dijual bebas di pasar, toko dan warung kecil. Satu karung gula dihargai rata-rata Rp 530 ribu. "Kenapa kok bisa banjir begini? Pemerintah seharusnya bisa kendalikan kebocoran ini," katanya.
Serangkaian faktor membuat penghasilan petani turun drastis. Rata-rata pendapatan mencapai Rp 7 juta per ha lahan tebu. Sebelumnya satu ha bisa menghasilkan hingga Rp 8 juta dengan rendeman menyentuh 8 persen.
Soemitro pun meminta masyarakat lokal selektif memilih gula kosumsi rumah tangga. Petani menurutnya perlu dibantu selama hasil rendeman masih rendah. "Beban yang disanggah saat gula naik kan tidak sebesar ketika beras naik, hanya Rp 1.000 per kg," ungkapnya.