EKBIS.CO, ST PETERSBURG -- Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 membahas nasib negara-negara berkembang yang berjuang mencegah terjadinya krisis di negara masing-masing. G20 yang bersatu mengatasi krisis 2009 kini membahas stabilitas ekonomi negara ketiga akibat membaiknya ekonomi Amerika Serikat dan rencana penghentian stimulus oleh The Federal Reserve.
"Tugas utama kami adalah mengembalikan perekonomian global menuju pertumbuhan yang stabil dan seimbang," ujar Presiden Rusia Vladimir Putin, seperti dilansir laman Reuters, Jumat (6/9).
Untuk mengantisipasi keadaan ini, negara yang tergabung dlam kelompok BRICS menyiapkan dana cadangan sebesar 100 miliar dolar AS. Dana ini disiapkan untuk menjaga negara-negara yang tergabung di dalamnya, yaitu Brasil, Rusia, Cina, India, dan Afrika Selatan terhadap guncangan ekonomi yang akan datang akibat ditariknya stimulus The Fed.
Seperti diketahui, pasar negara berkembang tengah berjuang keluar dari resesi setelah The Fed menyatakan akan menarik stimulusnya secara bertahap. Hal ini mendorong eksodus dana besar-besaran keluar dari pasar negara berkembang. Padahal sebagian besar pasar modal negara tersebut dikuasai dana asing.
Cina diketahui memiliki cadangan devisa lebih banyak dibandingkan negara lain di BRICS. Cina akan menyumbang sekitar 41 miliar dolar AS untuk dana cadangan krisis. Sementara Rusia, India dan Brasil masing-masing menyiapkan 18 miliar dolar dan Afrika Selatan sebesar lima miliar dolar AS.
MSCI Emerging Market Index telah kehilangan 10 persen tahun ini, dibandingkan dengan kenaikan 12 persen atas MSCI World Index. Pelemahan ini terjadi di tengah spekulasi The Fed ang akan memangkas stimulusnya di negara berkembang.
"Sebagian besar negara berkembang mengalami masalah di capital outflow karena isu quantitative easing (QE)," ujar Menteri Keuangan RI Chatib Basri, seperti dilansir laman Bloomberg. Menurutnya yang harus dilakukan adalah bagaimana negara-negara menyesuaikan diri, melalui diskusi yang dilakukan negara anggota G20.
Pemimpin dunia ini juga menambahkan ancaman dari konflik Suriah terhadap ekonomi global. Rencana penyerangan militer AS ke Suriah akan menambah volatilitas karena investor mempertimbangkan terganggunya arus minyak dari kawasan tersebut.
Perdana Menteri Italia Enrico Letta mengungkapkan negara memerlukan stabilitas. "Kami sangat prihatin dengan hal tersebut," ujar Letta.
Berdasarkan laporan lembaga riset minyak Sociate Generale, konflik Suriah diperkirakan akan membuat harga minyak Brent naik 120-125 dolar AS per barel. Nilai ini akan menjadi 150 dolar AS per barel jika militer AS melakukan serangan ke Suriah yang akan memicu konflik lebih lanjut di Timur Tengah sehingga mengganggu pasokan.