EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini akan berada di kisaran 5,8 sampai 5,9 persen.
Angka ini lebih rendah dibandingkan target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2013 sebesar 6,3 persen.
Meskipun begitu, Menteri Keuangan Chatib Basri menilai ada sisi positif dari perlambatan pertumbuhan tersebut. Salah satunya adalah perbaikan defisit transaksi berjalan.
Saat memberikan pidato kunci pada Seminar Nasional 'Inisiatif Program National Interest Account (NIA) Sebagai Alternatif Percepatan Pertumbuhan Ekspor Nasional' di Kementerian Keuangan, Selasa (10/9), Chatib mengatakan cara sederhana untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan adalah memperlambat pertumbuhan.
"Kalau pertumbuhan melambat, investasi melambat, impor menurun dan defisit transaksi berjalan akan membaik," ujar dia.
Neraca transaksi berjalan merupakan gambaran ringkas mengenai nilai transaksi barang dan jasa suatu negara dalam kurun waktu satu tahun.
Neraca transaksi berjalan terdiri atas neraca perdagangan (digunakan untuk mencatat nilai transaksi ekspor dan impor barang selama satu periode), neraca jasa (kegiatan jasa yang diselenggarakan suatu negara) dan neraca nonbalas jasa (misalnya Indonesia memberikan atau menerima hibah).
Defisit transaksi berjalan pada triwulan II 2013 meningkat menjadi 9,8 miliar dolar AS atau 4,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, defisit transaksi berjalan pada triwulan I 2013 hanya 2,6 persen dari PDB.
Defisit transaksi berjalan yang besar dapat memberikan citra buruk manajemen ekonomi nasional. Imbas berikutnya adalah kekhawatiran para pelaku ekonomi dari luar negeri, terutama investor asing terkait prospek masa depan perekonomian.
Chatib meyakini, defisit transaksi berjalan akan lebih baik pada triwulan III nanti seiring solusi jangka pendek yang ditawarkan pemerintah. Itu tertuang dalam paket kebijakan yang diluncurkan beberapa waktu lalu.
Misalnya kewajiban penambahan kapasitas biodiesel dalam solar menjadi 10 persen. Langkah ini diharapkan dapat menurunkan impor bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini menekan defisit transaksi berjalan dari sisi neraca perdagangan.
Sementara untuk menaikkan ekspor, Chatib mengakui kondisi saat ini tengah sulit. Hal tersebut tak lepas dari ekspor Indonesia yang didominasi oleh komoditas seperti minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/ CPO).
Walaupun dari sisi volume terjadi kenaikan, namun dari sisi value, terlihat adanya penurunan. Chatib menyebut perlunya meningkatkan kapasitas ekspor ke negara-negara nontradisional seperti Nigeria.
"Di sana potensinya besar karena penduduknya 170 juta dan pertumbuhan di atas tujuh persen," katanya menegaskan.